Selasa, 31 Mei 2011

Perempuan Emansipasi dan Penindasan

Bacaan untuk KOHATI

Wanita sebagai salah satu jenis manusia yang diakui secara universal keberadaannya hingga saat ini –bersama pria tentu saja– sering mengalami penindasan dalam kehidupannya. Sebenarnya, penindasan tersebut mengakibatkan wanita merasa sedih, frustasi atau bahkan marah. Dalam masyarakat patriarkal, sosok pria dipandang dan ditetapkan sebagai pemimpin dan sosok nomor satu dalam segala hal. Sistem seperti ini telah menjadi budaya yang dianut oleh manusia semenjak ribuan tahun yang lalu atau bahkan mungkin seumuran dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Dalam dunia cipta sastra, penindasan sering menjadi bahan penulisan yang diceritakan di beberapa novel. Sebagai salah satu hasil karya sastra, seperti dikutip The Encyclopedia Britannica, sebuah novel adalah penggambaran kehidupan (1974: 276). Novel menggambarkan pengalaman manusia yang diterjemahkan dalam dunia imajinasi yang diciptakan oleh novelisnya. Novel yang menggambarkan pengalaman wanita yang mengalami penindasan dalam kehidupannya, antara lain adalah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro novelis Indonesia, serta novel Second-Class Citizen karya Buchi Emecheta, penulis wanita Afrika.
Dalam kedua novel ini, beberapa bagian ceritanya menggambarkan penindasan yang terjadi pada kehidupan wanita, tentu saja dalam situasi tempat dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti berusaha membandingkan kedua novel tersebut agar dapat diketahui persamaan dan perbedaannya. Dalam penelitian ini, ditampilkan penindasan wanita yang bisa ditemukan dalam kedua novel ini. Dalam Bumi Manusia ada seorang wanita yang biasa dipanggil Nyai Ontosoroh, yang mengalami penindasan. Begitu juga dengan Adah –tokoh utama Second-Class Citizen–, seorang wanita Afrika yang hidup ditengah-tengah masyarakat Eropa, juga mengalami penindasan dalam kehidupannya.
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer dan Second-Class Citizen Buchi Emecheta. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Koh Young Hun, sejarahwan Malaysia, pada 1995  www.radiz.net) dengan judul “Dunia Melayu yang tersirat dalam tetralogi Bumi Manusia Pramoedya”. Kesimpulannya adalah bahwa novel Bumi Manusia merupakan penggambaran sejarah dunia melayu (Indonesia) tentang image pemberontakan kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, pergerakan kebangkitan bangsa, peranan wanita dalam peralihan zaman, humanisme serta pendapat pribadi Pramoedya sendiri, seperti terkutip saat Koh Young Hun mewawancarai Pramoedya pada 17 Juni 1991.
Megan Behrent dari Brown University pada 1997 meneliti Second-Class Citizen karya Buchi Emecheta. Kesimpulannya adalah bahwa novel ini merupakan simbolisasi orang-orang kulit hitam dari Afrika Selatan yang pindah ke Eropa (black immigration) yang mengalami penindasan dan pelecehan yang menyangkut masalah ras  www.scholars.nus.edu.sg/post/africa/ghana/aidoo/killjoy2.html).
Penindasan terhadap wanita sebenarnya telah lama terjadi. Hal ini telah dicoba ditentang oleh kaum hawa. Akan tetapi, sedikit sekali wanita yang menentang dengan dasar intelegensi yang kurang memadai, sehingga pergerakan tersebut baru bisa terasa sedikit hasilnya pada era 1960an di saat universitas-universitas ternama di dunia sudah mulai bersedia menerima wanita sebagai mahasiswanya (Djajanegara, 2000: 8).
Mengapa terjadi penindasan pria terhadap wanita? Dalam Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar; Djajanegara (2000: 2) mengakui pikiran-pikiran Frederick Engels dalam bukunya Origin of the Family, Private Property and the State, yang mengemukakan bahwa “Within the family He is the bourgeois and the wife represents the proletariat” (“Dalam keluarga, Dia –suami– adalah borjuis dan isteri mewakili kaum proletar”). Pikiran seperti ini sedikit banyak mewakili pergerakan feminisme-sosialisme atau feminisme-marxisme. Tetapi, ada satu hal pasti yang menjadi dasar berbagai aliran feminisme yang ada sekarang ini, yaitu tujuan awal feminisme yang dahulu dicetuskan oleh wanita-wanita penggerak pergerakan ini pada awal 1800an. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki (Djajanegara, 2000: 4).
Pendukung feminisme mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Pandangan tokoh feminisme yang lain menyatakan bahwa kaum wanita disamakan dengan kelas buruh yang hanya memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau alat-alat produksi (Djajanegara, 2000: 30)
Robert J. Clements menyimpulkan bahwa ada lima objek pendekatan sastra bandingan, yaitu (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang-bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran perkembangan teori dan kritik. Menurut Taufik Darmawan (1990: 12) yang mengutip Henry H. Remak, sastra bandingan adalah studi perbandingan dua karya sastra atau lebih, atau perbandingan karya sastra dengan bidang-bidang lainnya.
Untuk melakukan pembandingan karya sastra, orang harus memahami sebaik-baiknya karya sastra yang dibaca. Menurut Andreas Teeuw, untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai sistem kode, baik kode bahasa, kode budaya maupun kode sastra. Konsekuensinya, data-data dan informasi yang relevan mesti dilacak (Darmawan, 1990: 13). Oleh karena itu, peneliti dituntut untuk sedikit menguasai kode-kode yang menjadi dan layak untuk dibandingkan di antara novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer dan Second-Class Citizen Buchi Emecheta.
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dalam penceritaannya menampilkan beberapa penindasan yang dialami oleh Nyai Ontosoroh. Misalnya berikut ini:
 “Waktu berumur tiga belas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanak-kanak dulu. Malah duduk di pendopo ku tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak” (Toer, 1980: 73).
Kutipan ini adalah sebuah penggambaran akan adanya konstruksi sosial terhadap seorang wanita yang ketika ’sudah’ berusia 13 tahun harus mengalami pencekalan dirinya (pemingitan) terhadap lingkungannya, dengan melarang keluar rumah sampai dia dikawinkan dengan seorang pria.
 Tiba-tiba Robert bangkit, melotot pada Mama dan menggerutu marah. “Papaku bukan Pribumi!” ia lari sambil memanggil-manggil Papa (Toer, 1980: 95).
Kutipan ini merepresentasikan penolakan atau pengingkaran seorang anak lelaki (Robert Mellema) terhadap ibunya sendiri –Nyai Ontosoroh– hanya karena ibunya adalah seorang pribumi (Indonesia).
 “Ann, kita kalah, Ann. Kami akan menyertai kau berlayar ke Netherland, tapi mereka melarang. Ann, kau dengar aku, Ann?” (Toer, 1980: 346).
Lagi-lagi, Nyai Ontosoroh tidak diakui sebagai ibu dari Annelis Mellema, tetapi kali ini bukan anaknya yang tidak mengakui, melainkan pemerintah Netherland. Dalam setting konteks temporal, pemerintah Belanda mengharuskan seluruh warganya serta anak turunnya untuk pulang ke Netherland, sekaligus juga melarang dan tidak mengakui isteri atau ibu dari warga keturunannya bila isteri atau ibu tersebut orang pribumi.
Begitu juga pada novel Second-Class Citizen terdapat beberapa bagian cerita yang menggambarkan penindasan yang dialami oleh wanita tokoh utama, Adah, misalnya sebagai berikut:
 In Lagos, at that time, teenagers were not allowed to lives by themselves, and if the teenager happened to be a girl as well, living alone would be asking for trouble. In short, Adah had to marry (Emecheta, 1994: 19).
Kutipan ini menunjukan adanya keterpaksaan Adah yang sebenarnya masih ingin merasakan masa remajanya dan ingin melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi, karena kontruksi sosial di lingkungan tempat tinggalnya yang “mengharuskan” seorang gadis remaja untuk menikah.
 “Who is going to look after your children for you?” Francis asked one day when she was tucking the babies into their settee bed. “I can’t go on doing it, you’ll have to look for someone. I can’t go on looking after your children for you”. In Nigeria, when children were good, they were the father’s, they took after him, but when they were bad, they were the mother’s, taking after her and her old mother. Adah was frightened (Emecheta, 1994: 43).
Kutipan di atas menunjukan bahwa penolakan Francis –suami Adah– untuk mengakui anak mereka terjadi karena anggapan masyarakat Inggris yang membenci keberadaan anak-anak kulit hitam. Hal ini terjadi pada saat keluarga Adah sudah pindah ke Inggris.
 The trouble was that Adah was like a peacock, who kept wanting to win all the time. Only first-class citizen lived with their children, not the blacks (Emecheta, 1994: ).
Pada saat itu ada peraturan di masyarakat Inggris yang mengharuskan agar para imigran kulit hitam yang datang ke Inggris apabila memiliki anak, maka anak tersebut harus dipulangkan ke negara asalnya. Hal ini dialami oleh Adah dan ia mencoba melawan peraturan tersebut.
Dari beberapa kutipan tersebut, terlihat ada beberapa persamaan penindasan yang dialami oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia dengan Adah dalam Second-Class Citizen, antara lain:
1.Harus menikah pada usia muda, di saat sebenarnya mereka masih ingin mengenyam masa remaja dan melanjutkan sekolahnya.
2.Tidak diakui keberadaan dirinya atas anak.
3.Harus berpisah dengan anaknya, karena adanya konstruksi sosial yang melarang.
Adapun perbedaan penindasan yang dialami oleh Nyai Ontosoroh dengan Adah adalah sebagai berikut:
1.Nyai Ontosoroh tidak diakui sebagai ibu oleh anaknya sendiri (Robert Mellema), sedang pada Adah, justru Francis (suaminya) yang tidak mengakui keberadaan anak mereka dengan mengatakan anak itu “hanya anak dari Adah”.
2.Nyai Ontosoroh tidak diakui sebagai ibu dari Annelis Mellema, sedang pada Adah, yang justru tidak diakui adalah anaknya, sehingga harus dipulangkan dengan paksa ke Afrika.
Nah, berkat novel-novel seperti Bumi Manusia dan Second-Class Citizen ini, akhirnya semakin banyak wanita yang sadar agar tidak hanya diam saja ketika ditindas, baik secara fisik maupun batin. Walaupun masih saja ada penindasan-penindasan serupa, tapi sekarang semakin banyak juga wanita yang berusaha meningkatkan tingkat intelegensinya, tentu saja dengan tujuan agar tidak selalu dengan mudah dibohongi atau hingga menjadi korban penindasan.
Tapi ada satu hal yang perlu diingat oleh para wanita, agar tidak kelewat batas dalam pemberontakannya melawan penindasan. Apa itu? Yang jelas tidak semua pria itu gemar melakukan penindasan terhadap wanita, jadi tentu saja tidak adil bila langsung menyalahkan semua pria atas perilaku penindasan yang dilakukan oleh beberapa oknum pria. Sebab dunia ini diciptakan Tuhan, agar pria dan wanita bisa hidup seharmoni mungkin. Saling membutuhkan, saling menghargai, saling menyayangi.
So, lets make harmony…




Bacaan untuk KOHATI
k2k kutip dari sebuah blog milik senior HMI, met membaca!!!-
@l-un5
Apa yang kamu ketahui tentang ideologi feminisme?
Feminisme tidak bisa didefinisikan hanya dalam satu kata maupun satu kalimat. Menurutku sendiri, menggunakan kata-kataku sendiri, setelah sejak tahun 2003 membentuk diri menjadi seorang feminis, pada dasarnya feminisme merupakan satu ideologi yang memberdayakan perempuan, perempuan pun bisa menjadi subjek dalam segala bidang, menggunakan pengalamannya sebagai perempuan, menggunakan perspektif perempuan yang lepas dari mainstream kultur patriarki yang selalu beranjak dari sudut pandang laki-laki.
Feminisme sendiri berkembang dan mengalami beberapa fase dan tingkatan. Maka tidak mengherankan jika feminisme pun memiliki sifat yang jamak. Kaum perempuan sedunia kemudian dapat memilah dan memilih sudut pandang feminisme yang sesuai dengan pengalamannya sebagai perempuan. Feminisme merupakan suatu ilmu yang selalu berkembang dan tidak mandeg, sehingga tidak ada yang salah dalam ilmu ini, selama suara kaum perempuan didengar sebagai titik tolak pengamatan suatu permasalahan/pengalaman.
Dalam artikel ini, aku akan memberi sedikit gambaran mengenai jenis-jenis aliran feminisme yang telah muncul.
FEMINISME LIBERAL.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
FEMINISME RADIKAL
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
FEMINISME MARXIS
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
FEMINISME SOSIALIS
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
FEMINISME POSKOLONIAL
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.  Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.
Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
Oleh teman-teman terdekatku, aku dijuluki sebagai feminis radikal. Aku setuju karena memang aku berubah secara radikal—dari Nana si konvensional menjadi Nana si feminis yang mengikuti teori posmodern banget, pengikut Jacques Derrida dengan teori dekonstruksinya, yang ingin menjungkirbalikkan segala hal yang konon sudah established, terutama yang berkenaan dengan kehidupan perempuan.
Menilik jenis-jenis feminisme yang kukemukakan di atas, memang aku bisa masuk ke jenis feminis radikal, yang percaya bahwa segala penindasan yang terjadi kepada kaum perempuan dikarenakan kultur patriarki yang telah menghegemoni sekian abad. Tubuh perempuan yang berbeda dari laki-laki—sementara cara pandang dalam segala hal di dunia ini selalu berangkat dari kacamata laki-laki—membuat perempuan menjadi sasaran empuk untuk penindasan. Misal: pemaksaan adanya RUU APP, bahwa perempuan harus dipenjarakan di balik rok panjangnya karena tubuhnya yang di mata laki-laki selalu mengundang untuk menyentuh, dan seterusnya.
Namun, aku juga bisa memasukkan diriku sebagai seorang feminis liberal yang percaya bahwa perempuan sama baiknya, sama berkualitasnya dengan laki-laki. Sayangnya hal ini belum banyak diterima oleh masyarakat, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Sehingga, untuk memberi kesempatan kaum perempuan berkiprah di bidang politik—yang selalu dipandang sebagai ranah maskulin—perempuan berhak diberi affirmative action, seperti di pertengahan abad ke-20 peremintah Amerika memberi affirmative action ini kepada kaum African American. Kalau memang cara inilah yang akan mengangkat kaum perempuan di bidang politik, why not?
Aku juga setuju dengan feminis Marxis yang memandang relasi laki-laki perempuan seperti relasi kelas si kapitalis dan si pekerja. Untuk menyamakan kedudukan perempuan dengan laki-laki, perempuan harus bekerja, karena si empunya uanglah yang memiliki hak untuk menentukan sesuatu. Betapa selama ini, kebanyakan orang selalu memandang laki-laki sebagai the decision maker dan perempuan sebagai penjalan keputusan itu; terutama dalam institusi keluarga.
Sebagai seseorang yang hidup di sebuah negara yang pernah dijajah oleh negara yang kebanyakan penduduknya berkulit putih, sehingga secara tidak sadar orang-orang berkulit warna menganggap orang yang berkulit putih memiliki kuasa lebih tinggi daripada si kulit berwarna, tentu saja aku sangat setuju dengan Feminisme Poskolonial. Bahkan setelah Indonesia merdeka selama lebih dari setengah abad, pandangan bahwa yang berkulit putih tentu lebih menarik dibanding yang berkulit berwarna masih tetap saja ada. Hal ini dikuatkan dengan adanya iklan-iklan di televisi maupun majalah/koran, bahwa cantik itu putih.
In conclusion, meskipun banyak aliran dalam feminisme, belum tentu kita bisa mengacu seorang feminis sepertiku ini hanya mengikuti satu aliran saja. Ideologi feminisme bersifat dinamis yang akan selalu bergerak dan mengikuti perkembangan zaman, demi kebangkitan kaum perempuan dalam kultus yang masih tetap saja male-dominated.



















Bacaan untuk KOHATI
k2k kutip dari sebuah website id.wikipedia.org, met membaca!!!-
@l-un5
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

Sejarah

  • Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.[rujukan?] Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan.[rujukan?] Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum.[rujukan?] Pada 1785 fperkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.[rujukan?]
  • Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.[rujukan?] Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki.[rujukan?] Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.[rujukan?] Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.[rujukan?]
  • Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi.[rujukan?] Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
  • Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik.[rujukan?]Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.[rujukan?]
  • Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
  • Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.[rujukan?] Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).[rujukan?]
  • Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.[rujukan?] Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.[rujukan?]
  • Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.[rujukan?]

Perkembangan di Amerika Serikat


Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

 

 

Aliran

Feminisme liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[1]
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

Feminisme radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[2]

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Feminisme post modern

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Feminisme anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. [3]

Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminisme postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

Feminisme Nordic

Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.[4]
TOKOH DALAM FEMINISME
1. Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
2. Naffine (1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.

3. Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

 



















Met Membaca!!! @l-un5

Konsep Pemberdayaan Perempuan;google.com

Oleh: Akhmad Khoirudin

Perempuan adalah orang-orang yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perempuan yang mendidik anak-anak kita. Sebelum perempuanbisa mendidik generasi umat manusia yang sangat penting dalah memberikan pendidikan pada mereka terlebih dahulu, sebelum mereka akan mendidikan generasi manusia selanjutnya perlulah menyiapkan konsep pendidikan untuk para perempuan yang akan menjadi guru pertama dalam kehidupan seorang anak.

Tempat pendidikanyang pertam bagi anak adalah seorang ibu dan seorang ibu alah guru yang pertama dan yang kan membentuk karakter anak. Dalam konsep pendidkan bahwa pendidikan itu di mulai dari kandungan seorang ibu dan berakhur di liang lahat. dari sini perlulah kita menyaipakan permpuan-perempuan yang kan menjadi pendidika generasi bangsa.

Lembaga pendidikan yang pertama adalah di seorang ibu untuk lebih lengkapnya disini

Konsep Pemberdayaan pendidikan Perempuan

A. Konsep Pemberdayaan pendidikan Perempuan
1. Pengertian Perempuan
Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan keadilan. Begitu juga dengan Islam. Islam sangat menekankan pentingnya keadilan tersebut, seperti firman Allah pada Surat Al Maidah ayat 8, yang berbunyi:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Maidah :8)
Al-Qur’an, sebagai prinsip prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut, mencakup berbagai anjuran untuk menegakkan keadilan teologis (agama), ekonomi, politik, budaya, kultural termasuk keadilan gender. Secara diskrit, di dunia ini yang diakui sebagai manusia “lumrah” adalah manusia yang berjenis kelamin laki laki dan perempuan. Meskipun menyandang predikat sebagai manusia “lumrah”, akan tetapi terdapat ketimpangan di antara keduanya, represi (penindasan) yang sungguh luar biasa. Laki laki menguasai perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, ini adalah realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapapun.
Perempuan merupakan makhluk lemah lembut dan penuh kasih sayang karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan memelihara. Demikianlah gambaran perempuan yang sering terdengar di sekitar kita. Perbedaan secara anatomis dan fisiologis menyebabkan pula perbedaan pada tingkah lakunya, dan timbul juga perbedaan dalam hal kemampuan, selektif terhadap kegiatan kegiatan intensional yang bertujuan dan terarah dengan kodrat perempuan.
Adapun pengertian Perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti “tuan”, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Namun dalam bukunya Zaitunah Subhan perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsuai atau merupakan objek seks. Jadi secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita ke perempuan adalah megubah objek jadi subjek. Tetapi dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata want, atau men dalam bahasa Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Kata tersebut mempunyai arti like, wish, desire, aim. kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya wanted. Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu seseorang yang diingini. Sementara itu feminisme perempuan mengatakan, bahwa perempuan merupakan istilah untuk konstruksi sosial yang identitasnya ditetapkan dan dikonstruksi melalui penggambaran. Dari sini dapat dipahami bahwa kata perempuan pada dasarnya merupakan istilah untuk menyatakan kelompok atau jenis dan membedakan dengan jenis lainnya.
Para ilmuan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya. Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang didasarkan pada kajian medis, psikologis, dan sosial, terbagi atas dua faktor, yaitu faktor fisik dan psikis.
Secara biologis dari segi fisik, perempuan dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak sekuat laki laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat.
Sementara Kartini Kartono mengatakan, bahwa perbedaan fisiologis yang alami sejak lahir pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial ekonomi dan pengaruh-pengaruh pendidikan. Pengaruh kultural dan pedagogjs tersebut diarahkan pada perkembangan pribadi perempuan menurut satu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat dan kemampuan perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat pendapat umum atas tradisi menurut kriteria kriteria, feminis tertentu.
Seorang tokoh feminis, Mansour Fakih mengatakan bahwa manusia baik laki laki dan perempuan diciptakan mempunyai ciri biologis (kodrati) tertentu. Manusia jenis laki laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (Jawa: kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (payudara). Alat alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki laki dan perempuan selamanya dan tidak bisa ditukar.
Dalam konsep gendernya dikatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki laki maupun perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional atau keibuan, dan perlu perlindungan. Sementara laki laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara laki laki dan perempuan.
Konstruksi sosial yang membentuk pembedaan antara laki laki dan perempuan itu pada kenyataannya mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembedaan peran, status, wilayah dan sifat mengakibatkan. perempuan tidak otonom. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan membuat keputusan baik untuk pribadinya maupun lingkungan karena adanya pembedaan pembedaan tersebut. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan tersebut adalah, subordinasi, marginalisasi, stereotipe, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan.
Secara eksistensial, setiap manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama, sehingga secara asasi berhak untuk dihormati dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Secara mendasar, Hak Asasi Manusia meliputi, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak untuk memiliki sesuatu, serta hak untuk mengenyam pendidikan. Ketiga hak tersebut merupakan kodrat manusia. Siapapun tidak boleh mengganggu dan harus dilindungi.
Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia adalah makhluk Tuhan yang satu, memiliki derajat yang sama, apapun latar belakang kulturnya, dan karena itu memiliki penghargaan yang sama dari Tuhan yang harus dihormati dan dimuliakan. Maka, diskriminasi yang berlandaskan pada perbedaan jenis kelamin, warna kulit, kelas, ras, teritorial, suku, agama dan sebagainya tidak memiliki dasar pijakan sama sekali dalam ajaran Tauhid. Hanya tingkat ketaqwaan kepada Allah yang menjadi ukuran perbedaan kelak dihari pembalasan.
Jika kita meneropong realitas sosial Indonesia, lebih lebih jika kita fokuskan pada kehidupan kaum perempuan, niscaya yang akan kita temukan adalah sebuah keprihatinan. Mengapa posisi kaum perempuan tidak menguntungkan? Memang, pada satu sisi kita bisa mengatakan bahwa realitas sosial yang tidak menguntungkan kaum perempuan tersebut terkait dengan terlalu dominannya budaya patriarki.
Oleh karena itu, memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan dalam konsepsi kemasyarakatan adalah penting. Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengangkat harkat martabat perempuan adalah pemberdayaan perempuan.
2. Pengertian Pemberdayaan Pendidikan Perempuan
Realitas ketidakadilan bagi kaum perempuan mulai dari marginalisasi, makhluk Tuhan nomor dua, separoh harga laki laki, sebagai pembantu, tergantung pada laki laki, dan bahkan sering diperlakukan dengan kasar atau setengah budak. Seakan memposisikan perempuan sebagai kelompok mesyrakat kelas dua, yang berimbas pada berkurangnya hak-hak perempuan termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan.
Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan adalah pemberdayaan pendidikan perempuan. Konsep pemberdayaan pendidikan ini sangat penting karena memberikan perspektif positif terhadap perempuan. Sehingga perempuan dalam menggapai realitas hidup tidak dipandang sebagai makhluk yang serba kekurangan.
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” yang artinya keberdayaan atau kekuasaan. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana seseorang, rakyat, organisasi. dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap kejadian kejadian serta lembaga lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.
Jadi pernberdayaan pendidikan perempuan adalah suatu cara dan proses meningkatkan pendidikan perempuan dengan harapan agar mampu menguasai kehidupannya. Tujuan pemberdayaan adalah untuk meningkatkan kekuasaan perempuan yang dalam realitas kehidupan sampai sekarang mengalami nasib tidak beruntung. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial.
Pemberdayaan pendidikan perempuan menekankan pada aspek ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya, Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan, khususnya kelompok lemah agar memiliki akses terhadap sumber¬sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan¬keputusan yang mempengaruhi mereka.
Mengingat bahwa pendidikan merupakan persoaalan yang sangat penting dan mendasar dalam pamberdayaan perempuan, maka merupakan sebuah keharusan bahwa pemberdayaan terhadap pendidikan perempuanpun juga dilakukan sebagai prasyarat terhadap pemberdayaan perempuan itu sendiri.
Adapun pemberdayaan terhadap pendidikan perempuan adalah suatu cara atau upaya dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Hal tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan cara:
1. Memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap kaum perempuan untuk bisa mengikuti atau menempuh pendidikan seluas mungkin. Hal ini diperlukan mengingat masih menguatnya paradigma masyarakat bahwa setinggi-tinggi pendidikan perempuan toh nantinya akan kembali ke dapur. Inilah yang mengakibatkan masih rendahnya (sebagian besar) pendidikan perempuan.
2. Melakukan kampanye dan memberikan penyadaran kepada kaum perempuan akan pentingnya pendidikan dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Untuk meminimalisir pelecehan-pelehan atau ketidak adilan yang dialami oleh perempuan, maka sangat dimungkinkan sosialisasi dan penyadaran akan pentingnya pendidikan menjadi suatu keniscayaan.
3. Melakukan penelitian terhadap partisipasi masyarakat khususnya kaum perempuan dalam pemberdayaan dan peningkatan pendidikan bagi perempuan. Kegiatan ini sangat urgen, karena ini akan menjadi landasan dasar bagi siapa saja yang mengkampanyekan gerakan gender. Fakta ini menjadi tolok ukur untuk menetukan orientasi pergerakan gender. Kalau di suatu tempat, tingkat pendidikan perempuan sangat minim, maka berbagai kegiatan dapat disusun guna menutupi kekurangan itu.
4. Menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap segala kendala dan hambatan yang akan dihadapi dalam proses pemberdayaan terhadap pendidikan perempuan. Hal ini perlu dilakukan karena tidak sedikit fakta dilapangan yang ditemui, berbeda dengan harapan. Sehingga kalau sudah ada persiapan yang matang tentang antisipasi kendala yang akan ditemui, dapat dikatakan aktivitas apapun akan berjalan dengan lancer.
3. Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Pendidikan Perempuan
Pembangunan pemberdayaan pendidikan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat tercapainya pemberdayaan perempuan menuju kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki laki dan perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor. Keberhasilan pembangunan pemberdayaan pendidikan perempuan menjadi cita-cita semua orang. Namun untuk mengetahui keberhasilan sebagai sebuah proses, dapat dilihat dari indikator pencapaian keberhasilannya. Adapun indikator-indikator pemberdayaan pendidikan perernpuan adalah sebagai berikut:
1. Adanya wahana dan sarana yang memadai serta aturan perundang-undangan yang mendukung terhadap perempuan untuk menempuh pendidikan semaksimal mungkin.
2. Adanya peningkatan partisipasi dan semangat kaum perempuan untuk berusaha memperoleh dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran bagi diri mereka.
3. Meningkatnya jumlah prosentase perempuan dalam lembaga-lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi.
4. Peningkatan keterlibatan aktifis perempuan dalam kampanye pemberdayaan pendidikan terhadap perempuan.
Namun lebih dari itu semua adalah terciptanya pola pikir dan paradigma yang egaliter. Perempuan juga harus dapat berperan aktif dalam beberapa kegiatan yang memang proporsinya. Kalau ini telah terealisir, maka pendidikan perempuan benar-benar telah terberdayakan.
4. Peran Pendidikan Dalam Pemberdayaan Perempuan
Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan sehingga mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, khususnya peran perempuan sebagai bagian dari pelaku pembangunan, maka perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan potensi perempuan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Pembangunan pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat tercapainya kualitas hidup perempuan, dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi atau advokasi pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan bagi kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang kehidupan.
Pendidikan merupakan hak setiap individu, kaya miskin, lemah kuat, pandai bodoh, laki laki maupun perempuan. Oleh karena itu pendidikan adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi semua tanpa memandang latar belakang. Salah satu penyebab penindasan, peminggiran, subordinasi, bahkan perlakuan kasar terhadap perempuan adalah kemiskinan pendidikan yang dialami oleh kaum perempuan. Lebih dari itu pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan fasilitas yang layak dan maksimal dalam pendidikan ini. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang 1945 yaitu Negara ikut terlibat dalam mencerdeskan kehidupan bangsa.
Dalam agama Islam sendiri diajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan pada hakekatnya sama dalam hak untuk memperoleh pendidikan.
Dalam Al Quran Surat Al Alaq Allah SWT. Berfirman:
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dari ayat al Qur’an tersebut di atas dapat dipahami bahwa Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang manusia. Kata manusia di sini menunjukkan universalitas dan tidak terpaku pada golongan manusia tertentu, baik laki-laki atau perempuan.
Kuantitas pendidikan yang diterima perempuan sangat minim, sehingga tidak kaget kalau dua pertiga dari penduduk dunia yang buta huruf adalah perempuan. Anak anak perempuan mendapatkan pendidikan ala kadarnya atau bahkan tidak sama sekali, memang sangat berat menghadapi dunia, mereka tidak memiliki sumber daya yang memungkinkan secara efektif mengatasi kemiskinannya, kecuali hanya ratapan kesedihan. Tanpa pendidikan mereka, perempuan bukan apa apa.
Meskipun pendidikan yang ditawarkan kepada anak perempuan dianggap “pedang bermata dua”, yakni pendidikan yang berguna untuk menjaga dirinva sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhannya sendiri, serta pendidikan yang bermanfaat bagi keluarga (sebagai ibu rumah tangga). Oleh karena itu, pendidikan bagi pernberdayaan itu sebagai sesuatu memperkuat dan mempertinggi perasaan mereka tentang kekurangan sebagai perempuan, kalau perempuan memang enggan untuk diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah laki laki, sehingga keberadaannya tidak dianggap sebagai pelayan atas kebutuhan laki laki.
Salah satu bagaian dari Hak Asasi Manusi yang dimiliki manusia sejak lahir, dimanapun dan dalam waktu apapun, harus diberikan bahkan tidak boleh dihalang halangi adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Dalam UUD 1945, pasal 31, dijelaskan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran (pendidikan) yang layak.
Dalam Islam dianjurkan menegakkan persamaan di bidang hukum dan pendidikan. Antara laki laki dan perempuan harus mendapatkan hak atas pendidikan tanpa harus mengalami diskriminasi. Melalui pendidikan, baik laki-laki maupun perempuan, baik ilmu keagamaan maupun kemasyarakatan, manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah fil ardl.
Pendidikan harus diarahkan pada perkembangan penuh kepribadian, kompetensi, skill, ketrampilan serta pengokohan rasa hormat terhadap Hak Asasi Manusia dan prinsip prinsip kebebasan. Setiap orang, baik laki laki maupun perempuan berhak untuk bebas berpartisipasi di dalarn kehidupan kebudayaan masyarakat dan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan menikmati manfaatnya. Selain itu, pendidikan juga sangat berarti terutama bagi pemberdayaan perempuan. Melalui pendidikan, perempuan dapat meningkatkan kualitas hidupnya, mempunyai kemampuan dan keamanan, guna kemandirian, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalarn hal pendidikan, ada tiga jenis pendidikan yang wajib ditempuh oleh perempuan:
1. Pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pribadinya.
2. Pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya.
3. Pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya.
Meskipun gerakan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan untuk meningkatkan kualitas kehidupan perempuan mulai diberdayakan. tetapi masih ada hambatan hambatan yang berupa asumsi negatif tentang tabi’at perempuan. Salah satu diantaranya adalah, asumsi yang berasal dari teks teks keagamaan yang ditafsirkan secara tekstual dan konservatif, tanpa memandang kultur sosiologis yang berkembang. Seperti, bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah akal dan agamanya lemah. Padahal asumsi ini terpengaruh oleh kondisi sosial perempuan Arab pada waktu itu.
Oleh karena itu, pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks sekarang sangat urgen, bahkan menjadi kewajiban, karena kepribadian umat dan bangsa ditentukan anak anaknya. Maka, pendidikan pada kaum perempuan dimulai dari proses pendidikan mental, demokrasi dan pembentukan kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang unggul dan sempurna.
Perlu diketahui, bahwa harapan harapan tersebut di atas, akan sulit terkabul, kecuali melalui uluran uluran tangan dan nurani ibu ibu pendidik, serta pemerhati nasib perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang memadai. Belum pernah terpikirkan oleh kita, bagaimana kita akan membentuk dan membina generasi yang unggul dan tangguh, jika kaum ibu saja masih terbelakang tanpa pendidikan.
B. Perempuan Dan Masyarakat Modern
1. Pengertian Masyarakat Modern
Modernisasi merupakan satu kata baru untuk suatu fenomena lama, yang berlapis lapis, kesemuanya mencakup proses perubahan sosial bersifat revolusioner, kompleks, sistematik, global, bertahap, hegemonisasi dan progresif seperti Indonesia. Teori Modernisasi ini lahir pada tahun 1950 an dan merupakan tanggapan kaum intelektual terhadap Perang Dunia. Bagi para penganut teori evolusi, modernisasi dianggap sebagai jalan optimistis menuju perubahan.
Masyarakat modern adalah suatu struktur sosial atau lingkungan kehidupan publik tempat relasi antar manusia diatur atas dasar business, produksi, konsumsi dan komersialisasi. Pada masyarakat modern, perhatian lebih ditekankan pada sikap dan nilai nilai individu serta kemampuan produktifitas sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu, keterbelakangan masyarakat (dianggap) bersumber pada faktor faktor intern Negara atau masyarakat itu sendiri, terutama dalam bidang pendidikan.
Masyarakat modern merupakan hasil evolusi dari masyarakat tradisional yang mengalami proses perubahan dalam segala bidang, baik budaya, politik, ekonomi dan sosial, gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah. Masyarakat modern juga merupakan suatu tatanan sosial yang lebih mengedepankan rasionalitas, universalisme, equalitarianisme, spesialisasi fungsional, dan tidak ketinggalan juga tingkat pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Dalam masyarakat modern setiap individu atau kelompok mengalami proses perubahan yang lebih maju, yang didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebelumnya belum pernah dicapai dalam pengetahuan manusia. Terutama dalam bidang ekonomi, model model pertumbuhan ditandai dengan tingkat konsumsi dan standar hidup, revolusi teknologi serta intensitas modal.
Sedangkan dalam bidang sosial mencakup transisi multilinear ditandai dengan perubahan dalam atribut atribut sistemik, pola pola kelembagaan dan peranan peranan status dalam struktur sosial masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat modern lebih menekankan peran nilai dalam pembangunan sosio ekonomi yang didasarkan pada budaya materi.
Sistem stratifikasi pada masyarakat modern cenderung menjadi terbuka dan fleksibel, kesempatan atau lapangan kerja modern, pola pola hubungan sosial didasarkan pada skill. Kemajuan teknologi, pertumbuhan industri pabrik dan jasa, revolusi ilmu dan inovasi organisasi sangat mendorong ke arah spesialisasi fungsi fungsi, pembentukan birokrasi rasional vang ditangani oleh person (orang) yang menguasai teknik managerial dan professional.
Sementara pendidikan pada masyarakat modern merupakan symbol kemajuan dan kebanggaan nasional. Meskipun pendidikan menjadi symbol kemajuan dalam masyarakat modern, tetapi pengembangan pendidikan yang berat sebelah akan menghasilkan produksi yang cepat, suatu teknik baru. Sedangkan para elit administrasi dalam mengisi kompitisi yang sangat kompetitif tidak tergantung pada status formal (ijazah).
Dalam bidang politik, bentuk pemerintahan dalam masyarakat modern berperan secara berlebihan dalam ruang lingkupnya yang menyentuh pada setiap segi kegiatan sosio ekonomi dan bahkan pada aspek kehidupan pribadi. Sistem politik baru melalui badan perundang undangan, pemerintahan dan pelayanan mendominasi kehidupan ekonomi. Selain itu perubahan yang timbul dalam masyarakat modern yaitu perluasan yang mengacu kepada gejala pembaharuan fisik didalam masyarakat melalui usaha yang dilakukan secara terus menerus.
Dalain bidang budaya, masyarakat modern melakukan perubahan-perubahan dalam struktur normatif masyarakat, khususnva seperangkat nilai vang menghambat tingkat kemajuan peradaban. Suatu perubahan pada nilai nilai merupakan suatu akibat yang tidak menghambat pada perkembangan ekonomi menurut kaum modernis dianggap sebagai konsekuensi logis dari modernisasi, dan perubahan ini akan menyelamatkan dan membahagiakan rakyat menuju suatu kemakmuran.
Sementara fungsi Negara bangsa modern tidak lagi dibatasi dengan ketahanan dan pemeliharaan undang undang dan tatanan, melainkan pembangunan yang telah menjadi tujuan utama. Selain itu, perilaku yang dulunya (tradisional) didasarkan pada pengalaman yang bertumpuk yang disebabkan oleh tradisi, berubah dan dibatasi oleh pengetahuan ilmiah yang didorong oleh percobaan. Keterbukaan pada pengalaman baru, keinginan menerima resiko, aspirasi pendidikan yang tinggi, empati lebih besar dan individualisme merupakan kepribadian masyarakat modern.
2. Perempuan dan Masyarakat Modern
Tantangan kedepan yang dihadapi perempuan tentu akan lebih kompleks dan rumit. Modernisasi menjadi harga mati yang harus dihadapi, tentu akan membawa dampak yang sangat berbeda bagi perempuan. Kompetisi yang kian kompetitif, kemajuan Iptek dan lainnya. Jika tidak dihadapi dengan serius, terencana dan bersama sama tentu akan semakin meminggirkan perempuan yang selama ini akses pendidikannya sangat kurang dan kesempatan mendapatkannya pun seringkali terbatas.
Perempuan dalam pembangunan (Women in Development) menjadi diskursus pembangunan, dan merupakan pendekatan dominan bagi pemecahan persoalan perempuan. Agenda yang harus diutamakan dalarn program WID adalah bagaimana melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan. Selain itu, demokratisasi (Cara dan proses yang memberi peluang dan wewenang yang memungkinkan bagi perempuan dalam menentukan dan mengelola hidupnya sendiri yang bertumpu pada asas persamaan dan keadilan) terutama bagi perempuan juga sebagai aspek penunjang pemberdayaan perempuan sebagai pelaku pembangunan.
Pemberdayaan menunjukkan bahwa masalah kemampuan atau kompetensi menjadi prasyarat bagi perempuan agar bisa aktif dalam pembangunan di tengah modernisasi. Ada tiga kebijakan khusus (affirmative action) sebagai langkah dalam mempersiapkan perempuan memasuki era modernisasi, yaitu:
1. Pemberian keahlian dan pembekalan ketrampilan/ kompetensi tertentu (expert-power).
2. Pemberian peluang dan peran (role power)
3. Pemberian fasilitas untuk mewujudkan kemampuan (resource power).
Dalam konteks modern (pembangunan), perhatian terhadap isu isu vang langsung berkenaan dengan bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program pembangunan. peran perempuan tidak hanya identik sebagai ibu rumah tangga saja, melainkan juga berpartisipasi di dunia publik, sosial, memiliki hak (harus) berpendidikan, hak hak politik disamping kewajiban sebagai ibu rumah tangga, kecenderungan memasuki dunia kerja, dan pendidikan tinggi semakin meningkat. Pendidikan, akses politik, dan kemandirian ekonomi menjadi justifikasi posisi tawar yang setara dengan laki laki, termasuk relasi kesetaraan dalam relasi domestik.
Perempuan pada abad ini telah tersebar secara merata dalam berbagai bidang. Kegiatan kemasyarakatan, bahkan tidak jarang pula kita membaca kisah-kisah perempuan yang telah berhasil dan sukses dalam kehidupan rumah tangganya serta aktifitas kemasyarakatan yang diikutinya. Tokoh tokoh yang telah eksis dan sampai berhasil menjadi pimpinan Negara (Presiden RI Ke 5) seperti Ibu Megawati Soekamo Putri, Ibu Tuti Alawiyah (Mantan Menteri Pertanian), Zakiyah Darajat (Psikolog Perempuan), Moeryati Soedibyo, Martha Tilaar (pengusaha perempuan sukses), Pratiwi Soedharmono (Astronot perempuan), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Mirna Budhiarjo (Politikus Indonesia). Di luar negeri, ada Benazir Butho (Perdana Menteri Perempuan Pertama di Pakistan), All Brigt Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, dan lain lain.
Salah satu ciri masyarakat modern adalah standar hidup, pendapatan perkapita. Pembangunan identik dihasilkan dari poliferasi dan integrasi peranan-peranan fungsi di dalam suatu komunitas. Begitu juga kaitannya dengan perempuan, apabila kaum perempuan di era modern masih menafsirkan dirinya dan berbekal sifat kodratinya, dan tidak peka oleh perubahan zaman, maka perempuan akan meneruskan sejarah ketertindasannya, marginalisasi, subordinasi, korban kekerasan, serta memikul label makhluk nomor dua setelah laki laki. Hal itu semua hanya dan bisa di minimalisir serta di hilangkan melaui penyiapan perempuan yang kualitatif, kompeten serta moderat.
Salah satu faktor penyebab keterpurukan kaum perempuan yaitu, adanya suatu kebijakan pemerintah, yang merupakan produk politik yang tidak memihak pada kaum perempuan, dan identik dengan kekuasaan. Bahkan kebijakan tersebut mengandung berbagai kepentingan termasuk budaya patriarki. Oleh karena itu, dengan segenap kamampuan dan berbekal hak sebagai warga Negara, maka perempuan perlu tampil dalam wilayah politik. Melalui penguasaan, perempuan dapat mendobrak ketidakadilan yang berkedok kodrati.
Perempuan di era modern merupakan stakeholders pembangunan, karena itu pelaksanaan pembangunan harus menekankan pentingnya upaya pemberdayaan perempuan. Keterlibatan masyarakat perempuan untuk ikut memberikan masukan dalam perumusan serta pengawasan. Sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, tanpa suatu penindasan dalam bentuk apapun.
Dalam Islam, mungkin istri-istri Nabi dapat dijadikan contoh perempuan-perempuan modern. Citra modern istri-istri Nabi saw. khususnya menurut Bin asy-syathi menunjukkan bahwa citra permpuan muslim tidak hanya menjadi pengikut dan hanya berada di bawah perlindungan laki-laki, tetapi juga merupakan struktur pendukung bagi laki-laki; keluarga dan masyarakat. hal ini mengidentifikasikan bahwa perempuan modern adalah perempuan yang mampu berdikari, tidak tergantung pada siapapun. Pernyataan ini sekaligus mengisyaratkan bahwa, Islam sejak awal telah mengajarkan hidup modern. Tidak ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Perkara dikotomis ini dengan jelas di tolak dalam Islam, karena tolak ukur Islam dalam menilai seseorang adalah amal perbuatannya atau ketaqwaannya kepada Allah, bukan berdasarkan jenis kelamin. sehingga sangat keliru akalau masih ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak ramah perempuan.
Marnisi Seorang Sosisolog perempuan asal Maroko pernah melakukan penyerangan terhadap pendapat dari golongan konservatif lama tentang pemisahan perempuan dengan menyatakan hanya merupakan institusionalisasi otoritarianisme, yang dikembangkan dengan cara manipulasi teks-teks suci. Pendekatan yang dilakukan oleh adalah mencoba melakukan reinterpretasi atas teks-teks al-Quran dengan berbasis pada kontekstualisasi ayat-ayat suci tersebut.
C. Langkah langkah Yang Dilakukan Serta Faktor Faktor Pendukung Dan Penghambat Pemberdayaan Perempuan
Dalarn GBHN Tahun 1999, dinyatakan bahwa pemberdayaan perempuan dilaksanakan melalui upaya; pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Pemberdayaan perempuan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. Program pemberdayaan perempuan membutuhkan pendekatan vang tepat dan sesuai dengan kelompok masyarakat yang dituju. Ada beberapa pendekatan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan, diantaranya yaitu, pendekatan kesamaan, pendekatan anti kemiskinan, pendekatan efisiensi, dan pendekatan pemberdayaan perempuan.
Beberapa pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memperbaiki posisi tawar perempuan, dibutuhkan upaya, untuk meningkatkan posisi tawar perempuan. Pendekatan ini meletakkan upaya penghapusan subordinasi perempuan sebagai pusat perhatian. Pendekatan ini lebih bersifat ideologis dan filosofis, dan melibatkan semua elemen masyarakat.
Selain itu, Reinterpretasi Teks Keagamaan berfungsi untuk membangun basis teoritis bagi pemahaman dan tradisi baru yang berkeadilan serta selaras dengan pesan pesan substansial Islam untuk memuliakan perempuan. Langkah ini meskipun bersifat teoritis, namun menyimpan tingkat kerumitan dan resiko yang tersendiri. Meskipun demikian, dalam konteks masyarakat Islam konteks sekarang merupakan kebutuhan mutlak dan tak terhindarkan.
Melengkapi langkah yang kedua, adalah langkah praktis berupa sosialisasi keadilan gender, atau yang kini populer dengan istilah gender mainstreaming (pola pikir dominan gender). Melalui langkah strategis ini, penyadaran akan berbagai bentuk ketidakadilan gender yang kini banyak terjadi di masyarakat harus terus dilakukan. Demikian pula langkah langkah taktis untuk meningkatkan peran publik perempuan, termasuk penempatan perempuan dalam ranah stock holder (pengambilan keputusan).
Selain langkah langkah diatas, pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui langkah langkah sebagai berikut :
1. Memotivasi perempuan; perempuan dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga Negara dan anggota masyarakat.
2. Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan, peningkatan kesadaran perempuan dapat dicapai melalui pendidikan sejak dasar.
3. Manajemen diri; perempuan harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri.
4. Pembangunan dan Pengembangan jaringan; pengorganisasian kelompok kelompok perempuan perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial disekitarya.
Disamping faktor pendukung, adapula faktor faktor penghambat. Ada beberapa faktor yang menghambat pemberdayaan perernpuan, diantaranya yaitu:
1. Terlalu dominannya budaya patriarki. Budaya patriarki memang sangat erat menjadi nafas dari berbagai kebudayaan dunia. Mantapnya tradisi patriarki ini didukung oleh ideologi kapitalisme. Ideologi ini sering ditengarai sebagai penyebab, semakin termarginalkannya kaum perempuan.
Gender terbentuk melalui proses yang panjang dan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor sosio cultural, baik secara fakta sosial (meminjam Istilah Durkheim) maupun agama.
Perbedaan peran gender yang tumbuh dari perbedaan seksual, pada dasarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun sangat disayangkan, selama ini perbedaan gender justru dijadikan legitimasi dikriminatif dan subordinatif terhadap banat hawa (putrid-putri hawa).
Selain budaya patriarki, peran tradisi dan ajaran agama (Fiqh Nisa’) atau pemikiran Islam tak bisa dipungkiri turut juga memberikan kontribusi dalam menciptakan ketimpangan sosial yang merugikan kaum perempuan. Perempuan sering diposisikan sebagai barang bawaan. Agama sebagai the fundamental need and the wayn of life, tidak bias dipungkiri memiliki pengaruh fungsional terhadap struktur yang terbentuk dalam suatu masyarakat. Bahkan tidak jarang dijadikan legitimasi atas diskriminatif gender dalam interaksi sosial.
Dalam tradisi Jawa, kita mengenal pernyataan bahwa “istri” adalah “kanca wingking” suami, nyang “swarga nunut, neroko katut” (jadi perempuan, dalam hal ini istri adalah parasit yang tidak memiliki posisi manidiri, dia selalu melekat pada suami) Terlebih untuk konteks masyarakat Indonesia yang sangat kental diwarnai dan dipengaruhi tradisi fiqh nisa’. Seperti Firman Allah yang sering dijadikan landasan untuk menentukan posisi hukum perempuan, yaitu:
Artinya: “Kaum laki laki adalah pemimpin atas kaum perempuan, disebabkan Tuhan telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(Q.S. An Nisa’: 34)
Padahal, superioritas kaum laki laki sebagaimana ditunjukkan oleh ayat tersebut, lebih didasarkan pada realitas sosial pada saat itu, dimana memang berbagai infrastruktur sosial dan budaya lebih memungkinkan laki laki untuk mendominasi dan memegang peranan. Namun di sisi lain tanpa kita sadari bahwa ayat tersebut sifat interpretable. Maka ulama Islam mencoba memaknai ayat tersebut, kemudian hasil ijtihad mereka terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqh.
Pada umunya disepakati bahwa core keislaman adalah fiqh. Dalam problematika keperempuanan, ilmu fiqh memiliki peranan sangat besar, karena ilmu fiqhlah yang menstrukturkan hubungan laki-laki dan perempuan. Karena terkait dengan agama, maka fiqh memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku seseorang, baik secara personal maupun kolektif. Dalam masa yang panjang peranan fiqh dalam membentuk kebudayaan masyarakat muslim sangat dominant, sangat kuat, mengalahkan aspek ajaran lainnya seperti teologi dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari tulisan Murad Hoffman bahwa ada enam butir wilayah fiqh di mana Islam paling banyak mendapatkan serangan karena perlakuannya kepada aum perempuan, yaitu perkawinan, kehidupan keluarga, perceraian, pakaian, hukum waris dan kesaksian di Pengadilan.
2. Adapun faktor penghambat pemberdayaan perempuan yang lain yaitu. peran serta pesantren. Pesantren mempunyai peran dalam melegitimasi agama sebagai bagian dari kehidupan sosialnya, hampir semua perilaku yang dilakukan selalu merujuk pada teks agama, dalam hal ini kitab kuning. Posisi kitab kuning sebagai rujukan utama pesantren, padahal kitab kuning tersebut dikarang pada abad 14 atau 15 Masehi. Di lain pihak, pandangan pandangan kitab kuning di pesantren sangat mensubordinasikan perempuan, utamanya karena kebanyakan isinya memandang perempuan sebagai makhluk yang belum sempurna sehingga perempuan diposisikan hanya subordinat dari laki laki.
Sudut pandang pesantren yang ikut terlibat dalam “peng-kebiri-an” kaum wanita tidak lepas dari paradigma yang dikembangkan di lingkungan tersebut. Paradigma yang dikembangkan adalah superioritas dan inferioritas. Perempuan diletakan sebagai imperior laki-laki berdasarkan dalil Al-rijalu qawwamuna ala an-nisa. Padahal dalil ini pada dasarnya dapat dipahami melalui sudut pandang kontekstual (kasuistik).
Fenomena ini menambah buruk kedaan, karena sebagian besar masyarakat kita masih meletakkan pesantren (dengan segala kelebihan dan kekurangannya) sebagai barometer atau tolok ukur kehidupan sosial terutama yang berkaitan dengan pola keberagamaan. Oleh karena itu pesantren memiliki andil yang cukup signifikan dalam mempangaruhi paradigma masyarakat tentang perempuan.
Paradigma ini kemudian diperkuat dengan adanya “serangan balik” yang berasal dari kaum perempuan itu sendiri. Misalnya saja pendapat yang mengatakan bahwa isu feminisme itu sesungguhnya adalah budaya barat yang dipaksakan. Adanya kata “Barat” oleh sebagian komunitas memiliki konotasi yang sangat mengerikan. Apalagi selama ini Barat selalu dikontraskan dengan Islam. Ketika isu feminisme dikaitkan dengan Barat, maka ini menjadi boomerang bagi gerakan feminis itu sendiri. Indonesia yang nota benenya Islam, maka masyarakat kita akan melihat isu gender, feminisme, emansipasi atau istilah-istilah lain yang semaksud, sebagai musuh ideologi yang harus dilawan. Lebih dari itu, isu feminisme disebagian kalangan justru dianggap menyesatkan kaum perempuan bukan malah membahagiakan.
Kalau tetap demikian adanya, para aktivis gender dan feminisme tidak bisa berharap banyak. Gender hanyalah wacana yang tidak mungkin dapat terialisasi. Dan perempuan Indonesia khususnya tetap dalam paradigma semula, paradigma yang sudah tertanam dengan kuat dalam hubungan relasi antara laki-laki dan perempuan sebagaimana adanya.










Bacaan untuk KOHATI
k2k ngutipnya dari websitenya Hizbut Tahrir Indonesia, yang penting Met Membaca-
@l-un5
Ambiguitas Feminisme; Antara Fakta dan Klaim
Ada di antara kaum Muslim/Muslimah yang percaya bahwa feminisme merupakan solusi untuk mengatasi subordinasi perempuan oleh laki-laki akibat ketidaksetaraan jender. Bagaimana Islam memandang feminisme? Telaah Kitab kali ini membahas sebagian gagasan di seputar feminisme dalam buku yang berjudul, Perempuan, Feminisme, dan Islam karya Ismail Adam Patel syabab Hizbut Tahrir Inggris.
Ragam Aliran Feminisme dan Definisinya
Kita perlu memahami gerakan feminisme, mengingat gerakan tersebut menyatakan dirinya berjuang untuk mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum perempuan pada masa sekarang ini. Gerakan feminisme sendiri mempunyai banyak aliran. Di antaranya:
Pertama, gerakan feminisme Marxis (sosialis). Doktrinnya, setiap perempuan, baik dari kalangan proletar maupun borjuis, harus memahami bahwa penindasan terhadap kaum perempuan bukan semata-mata karena perbuatan sengaja individu-individu, tetapi lebih merupakan produk struktur politik, sosial, dan ekonomi yang disebabkan oleh Kapitalisme.
Kedua, feminisme liberal. Paham ini berjuang untuk menghapuskan berbagai perbedaan seksual sebagai langkah awal menuju kesetaraan sejati. Gerakan ini meyakini, untuk mewujudkan kedudukan yang setara antara kaum laki-laki dan perempuan maka segala bentuk stereotip trentang peran sosial bagi laki-laki dan perempuan harus dihapuskan.
Ketiga, feminisme radikal. The New York Feminist Manifesto tahun 1971 menyatakan:
Feminisme radikal memandang bahwa penindasan terhadap kaum perempuan merupakan suatu bentuk penindasan politik yang mendasar; kaum perempuan dianggap sebagai suatu kelompok yang berkedudukan lebih rendah semata-mata karena jenis kelaminnya. Tujuan feminisme radikal adalah melakukan pengorganisasian secara politik untuk meruntuhkan sistem yang mengelompokkan warga masyarakat berdasarkan jenis kelamin ini.
Sebagai kelompok feminis radikal, kami menyadari, bahwa kami tengah melakukan pertarungan kekuatan dengan kaum laki­-laki, dan bahwa pelaku penindasan terhadap kaum perempuan adalah semua laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai makhluk yang unggul dan istimewa serta mengemban konsep keunggulan dan keistimewaan peran laki-laki….
Feminisme radikal atau feminisme ekstrem menganggap laki-laki sebagai penjahat, yang menggunakan kekuatannya untuk menarik manfaat dari kaum perempuan; mulai dari pemuasan ego, eksploitasi ekonomi dan domestik, dominasi seksual, hingga klan kekuasaan politik.
Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan feminisme, istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat subyektif dan sering digunakan secara sembarangan. Akibatnya, sering muncul kebingungan dan berbagai definisi tentang feminisme.
Di antara berbagai definisi feminisme yang berkembang pada saat ini adalah:
(1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk mengubah kedu­dukan kaum perempuan atau berbagai pemikiran tentang kaum perempuan, mendapatkan julukan kaum feminis.
(2) Sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
(3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk membuat kaum perempuan mempunyai kesempatan dan hak-hak istimewa sebagaimana yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan tentang adanya nilai-nilai keperempuanan yang spesifik, yang berbeda dengan anggapan negatif kaum laki-laki selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan perempuan harus bersifat eksklusif, ada kecenderungan kuat untuk membuat demikian. Persoalannya adalah: apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak.
(4) Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum laki-laki, tetapi juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin di antara manusia semestinya tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum laki-laki.
Pandangan ‘Hina’ Berbagai Peradaban Terhadap Perempuan
Perempuan menurut doktrin berbagai peradaban—selain Islam—sejak dari awalnya memang dipandang tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh, dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan Prof. Will Durant:
Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya—pada masa-masa tersebut—menjadi miliknya pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.
Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’ ditindas. Aristoteles mengatakan:
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah….Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan….
Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dari masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelom­pok elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain.
Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan menyatakan: Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan.
Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan-aturan keagamaan Sansekerta kuno, Draramasastra, memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India. Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warga negara kelas dua. Sebagai contoh, seorang istri tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit Tryambaka ini. Pertama: seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan pribadinya. Kedua: seorang istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya menghendaki. Ketiga: kepatuhan kepada suaminya harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama sekalipun.
Agama Nasrani pun tak luput dalam melecehkan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica, “Sejak awal, lembaga gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang amat rendah.”
Barat pun ‘Melecehkan’ Perempuan
Saat ini, di Barat ketika kaum perempuan merasa bertanggung jawab atas segala urusannya sendiri, apakah mereka telah mencapai puncak kesetaraan jender? Apakah “perempuan baru” yang ada di Barat telah mampu membebaskan diri sepenuhnya dari berbagai penindasan sebagaimana yang mereka perjuangkan? Apakah kemunculan gerakan “pembebasan” mereka itu menandakan datangnya kehidupan dunia yang baru dan lebih bermoral? Apakah gerakan “pembebasan” itu telah mampu mewujudkan emansipasi kaum perempuan yang hakiki, dan membebaskan mereka dari ketidakadilan?
Menurut mereka (kaum feminis), jawaban yang diberikan pastilah, “Ya.” Namun, sayangnya kita terpaksa menjawab, “Tidak!”
Mereka mengklaim telah mempunyai peradaban modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban mereka penuh dengan nuansa bar-bar dan kembali pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan bayi, prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent (yang paling umum adalah single mother) adalah menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa-bangsa biadab” Romawi Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan Yahudi.
Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus aborsi. Pada abad modern ini, di Barat, membunuh bayi perempuan tidak berdosa yang baru lahir boleh jadi sangat jarang kita temui. Akan tetapi, menggugurkan mereka ketika masih berbentuk janin, kemudian mengeluarkan jasad mereka dari rahim dalam keadaan terpotong-potong seperti sampah, semakin umum dilihat dan dipraktikkan. Teknik aborsi yang terbaru, yang diberi nama “partial birth-abortion”, dilakukan dengan mengeluarkan janin dari dalam rahim sepotong demi sepotong sehingga tinggal kepala bayi yang masih tersisa di dalam rahim. Kemudian para praktisi aborsi (apakah orang-orang seperti ini layak diberi gelar dokter?), melubangi tengkorak bayi dengan sebuah alat yang taham, memasukkan kateter ke dalamnya, dan menyedot otak bayi sampai habis. Setelah isinya disedot habis, maka kepala bayi berikut sisa-sisa tubuh lainnya dapat dikeluarkan semuanya dengan mudah. Inikah sebuah peradaban modern yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan?
Fakta kedua tentang pelecehan Barat terhadap perempuan adalah industri pornografi. Pesatnya pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an, sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan “kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama sekali tidak mem­pertimbangkan kaum perempuan sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan mampu meraih “keseta­raan”. Padahal kenyataannya, kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys, seorang feminis, menulis:
Kaum perempuan telah diberitahu oleh para pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki, maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980-an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki. [Gus Uwik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar