Jumat, 03 Juni 2011

Studi Kritis Politik Islam Modern

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kolonialisme Barat yang menimpa dunia Islam pada abad 18-20 (Yatim,1997) dan mundurnya politik Islam yang ditandai denganruntuhnya kekhilafahan Usmani ternyata tidak selamanya mendatangkan akibat negatif, tetapi juga membuat kaum Muslimin mampu merumuskan dirinya kembali, termasuk pemikiran politik Islamnya. Bahkan, menurut Enayat, dilikuidasinya kekhalifahan Usmani oleh keputusan Majlis Nasional Turki tahun 1924 yang awalnya karena desakan kolonialisme Barat, dalam hal ini Yunani yang didukung Inggris, Prancis dan Amerika yang menduduki Izmir, salah satu wilayah Turki tahun 1919 (Nasution, 1975)merupakan sesuatu yang menjadikan politik Sunni mencapai titik baliknya. Peristiwa ini, katanya lebih lanjut, merupakan puncak proses ‘fermentasi’ di kalangan kaum Muslimin sejak abad 18 dan dalam bidang pemikiran politik Islam,mempercepat perdebatan seru yang terjadi antara kaum modernis dan tradisionalis untuk kemudian menjanjikan terbentuknya sintesis dari pandangan mereka yang saling bertentangan. Krisis seputar kekhalifahan itu mempunyai satu akibat subsider yang bersifat doktriner. Ia telah memperkenalkan gagasan negara Islam sebagai pengganti kekhalifahan yang dinyatakan, baik secara tersurat atau tersirat, sebagai mustahil untuk dihidupkan kembali (Enayat, 1982).

Lebih jauh, Munawir Syadzali (1993) berpendapat bahwa berbeda dengan para pemikir politik Islam masa klasik dan pertengahan yang karena realitas politik (Esposito, 1987) bersifat realis yang semuanya menerima dan tidak mempertentangkan keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka temukan --kecuali al-Mawardi yang memiliki konsepsi lebih maju yang mirip dengan teori kontrak sosial Jhon Locke-- para pemikir politik Islam modern dan kontemporer mengalami perkembangan dan keanekaragaman yang mendasar. Salah satunya karena tiga faktor, yaitu kemunduran dunia Islam, kolonialisme dan keunggulan Barat. Sebab itulah, tulisan ini ingin menyoroti perkembangan dan peta pemikiran politik Islam modern dan kontemporer dengan melakukan kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler, dan yang moderat.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
1. Apa yang dimaksud dengan sistem demokrasi dan khilafah?
2. Bagaimana sistem politik islam organik tradisional, politik islam sekuler dan politik islam modern
3. Bagaimana pandangan beberapa tokoh mengenai sistem politik islam modern
4. Bagimanakah hubungan politik islam modern dengan sistem demokrasi dan sistem khilfah

C. Tujuan penulisan
1. Menjelaskan mengenai sistem demokrasi dan sistem khilafah.
2. Menjelaskan sistem politik islam organik tradisional,politik islam sekuler dan politik islam modern
3. Menjelaskan pandangan beberapa tokoh mengenai sistem politik islam modern
4. Menjelaskan hubungan politik islam modern dengan sistem demokrasi.


D. Manfaat Penulisan
1. Mampu memahami mengenai sistem demokrasi dan sistem khilafah
2. Mampu menjelaskan beberapa sistem politik islam
3. Mampu menjelaskn pandangan tokoh mengenai sistem politik islam modern
4. Mampu menjelaskn hubungan politik islam modern modern dengan sistem demokrasi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Pengertian Sistem Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari Yunani kuno yang terdiri atas dua kata yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demorasi dapat diarikan sebagai bentuk bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.


2. Pengertian Sistem Khilafah
Khilafah menurut bahasa berasal dari kata khalafah yang berarti menggantikan atau menempati tempat. Istilah khilafah kadang dikaitkan dengan istilah penggantian yang berarti kedudukan orang pertama digantikan oleh orang kedua. Dalam pengertian syariah khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam
kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah)
B. Pembagian Politik Islam
Dalam politik islam modern ada beberapa kategorisasi atau tipologisasi mengenai politik islam yaitu politik islam organik tradisional, sekuler dan moderat.
1. Politik Islam Organik Tradisional
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din
wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan
negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara
betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama
sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan
tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam tipologi ini,
Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi
merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala
aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid
Ridha (1865-1935 ) . Sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional pertama-tama
ia begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Qureisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani, baginya, merupakan pranata politik supra
nasional yang mewakili Nabi pasca Abbasyiah yang mempersatukan Umat
Islam di berbagai dunia yang perlu dihidupkan kembali dengan tugas untuk mengatur urusan agama dan dunia (harasah al-din wa siyasah al-dunya),suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi misalnya. Alasannya karena Al-Qur’an, Hadis dan ijma’ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-halli wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah, juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju ketimbang pemikir politik Islam klasik
yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh (faqih) yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-halli wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid (seorang yang mampu melahirkan keputusan hukum dari elaborasinya terhadap Al-Qur’an dan Hadis), melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. Selain itu, berbeda dengan kecenderungan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah, dan menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum (Ridha, 1341). Hanya saja ia tidak membahas bagaimana cara mengangkat mereka. Kendati pandangan Rasyid Ridha di atas mencerminkan alam pikiran politik Islam klasik dan pertengahan yang sulit diterima masa kini, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi “utopis dan romantis”, tetapi, walau bagaimana pun, Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam
berikutnya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad 20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthub dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan bentuk pemerintahan,
yang dalam Istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) .


2. Politik Islam Sekuler
Kebalikan dari tipologi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah
agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak
mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk
ke dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq (1888-1966). Ali Abd. al-Raziq dari sekian pemikir Muslim tentang politik yang mendapatkan respon luar biasa bahkan kutukan dari kalangan ortodoksi atau tradisional. Raziq mengawali penjelasan pikiran politiknya tentang kekhalifahan yang supra nasional menurut kalangan ortodoks semisal Rasyid Ridha Islami. Ia menolak sistem khilafah tersebut sebagai sebuah sistem yang tidak mempunyai landasan yang kokoh dari Al-Qur’an, Hadis dan ijma’. Dia secara agak rinci membahas ketiga sumber tersebut yang mengukuhkan wajibnya kekhalifahan. Al-Qur’an katanya tidak menyebut kekhalifahan seperti yang kita kenal dalam sejarah. Al-Qur’an Surat 6: 38 misalnya yang dianggap dalil pendukung kekhalifahan dalam kenyataannya tidaklah demikian. Karena, kata ûlil al-amri (para pemegang kekuasaan) yang wajib diikuti kaum Muslim sesudah mentaati Allah SWT dan Rasulnya tidaklah disepakati ulama tafsir dengan khalifah Baidhawi
umpamanya menafsirkan kata itu dengan kaum Muslimin yang sezaman dengan Nabi, dan Zamakhsyari mengartikannya dengan ulama. Demikian juga dengan hadis seperti hadis “Barang siapa mati tanpa berbai’at (kepada imam), maka dia mati dalam kejahiliahan”, sekalipun banyak orang menganggapmya sahih, hadis-hadis itu tidaklah menunjukkan doktrin agama. Rasa-rasanya hanya ijma’lah yang menjadi alat legitimasi dan itu pun, menurut Raziq bukan ijma’ shahih. Hal ini kerena kekhalifahan terbentuk oleh ijma’ sukuti (kesepatan diam) yang tidak semua masyarakat menyepakatinya. Hampir setiap kehalifahan ada saja pihak yang menjadi oposisi. Demikian pula argumentasi wajibnya kekhalifahan untuk tujuan terlaksananya tugas-tugas keagamaan dan kepemerintahan tidaklah juga tepat. Ketidaktepatan itu karena dalam kenyataan kekhalifahan selamanya merupakan bencana bagi Islam dan umatnya. Raziq memang mengakui pentingnya negara untuk kepentingan sosial, lepas dari agama dan keyakinan, tetapi itu tidak harus berbentuk kekhalifahan, melainkan bisa beraneka ragam bentuk dan sifatnya (al-Razig, 1925; Enayat, 1982).Dari sanalah kemudian ia berkesimpulan bahwa misi nabi adalah misi agama an sich yang tidak ada kaitannya dengan politik keduniawian. Nabi adalah utusan Allah SWT yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud mendirikan negara. Nabi tidaklah mempunyai kekuasaan
sekuler, negara atau pemerintahan. Nabi tidaklah mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Setelah beliau wafat, tidak ada seorang pun yang dapat mengganti tugas risalah-nya. Kalaupun Abu Bakar muncul, maka kepemimpinannya merupakan bentuk baru yang bersifat profane (duniawi). Abu bakar menyebut dirinya sebagai
khalifah Rasul (pengganti/wakil Rasul) agar kaum Muslimin taat kepadanya seperti taat kepada Rasululah. Orang-orang yang tidak mentaatinya yang disebut Abu Bakar murtad seperti Malik bin Nuwairah belum tentu murtad dalam arti keluar dari Islam dan kufur kepada Allah beserta Rasul-Nya. Berdasarkan hal itu semua Kekhalifahan lepas dari Islam dan tidak ada kaitan dengannya. Persoalan kenegaraan semuanya diserahkan pada akal
pengalaman kemanusiaan belaka (al-Raziq, 1925). Sebagai pemikir sekuler, Ali Abd. al-Raziq agaknya mampu meyakinkan pembaca bukunya “al-Islam wa Ushul al-Hukm” bahwa pemerintahan menurut Islam tidaklah harus berbentuk khilafah, tetapi ia tidak berhasil meyakinkan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbeda dengan Nabi sebelumnya. Mengingat Nabi, terutama dalam konteks hukum, kendati tugas utamanya adalah kerasulan, melakukan beberapa hal yang hampir sama dengan kepala pemerintahan atau negara.



3. Politik Islam Modern
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888). Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan
dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam
makin mendalam dan tampak.

Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.

C. Hubungan Politik Islam Modern Dengan Sistem Demokrasi
Ada beberapa pemikir politik islam modern di antarnya yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid. Mereka berpendapat bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit. Selanjutnya Fazlur-Rahman menjelaskan kosep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur-Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di
Barat (Azhar, 1996). Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka. Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim. Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi.
Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis (Arkoun, 1996; Azhar, 1996; Putro, 1998). Selaku murid Fazlur-Rahman, di Indonesia, Nurcholish Madjid tidak jauh berbeda dengan formulasi konseptual gurunya. Islam, baik dalam teori atau praktek telah menetapkan prinsip-prinsip politik. Prinsip-prinsip itu, dengan mengutip Robert N. Bellah dan apa yang tercantum dalam “Piagam Madinah”, adalah pluralisme, toleransi, pengakuan akan persamaan semua penduduk, dan keadilan sebagai tujuan negara. Dalam Islam yang dimaksud pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia. Bertolak dari prinsip-prinsip ini ia berkesimpulan bahwa, pertama, konsep Islam di bidang politik, tegas Nurcholish Madjid, berada pada pertengahan antara dua pendapat ekstrim yang saling berlawanan; Sayyid Qutub dan al-Maududi di satu pihak, dan Ali Abd al-Raziq di pihak
lain. Kedua, meski memiliki kekurangan, demokrasi dipahaminya sebagai sesuatu yang tiada ternilai harganya, yang untuk sampai sekarang belum ditemukan alternatif yang lebih unggul. Demokrasi, baginya adalah majority rule minority right, yaitu sistem politik dengan prinsip mayoritas dengan tidak mengganggu kepentingan minoritas yang paling fundamental. Demokrasi juga, dalam keyakinan Nurcholish Madjid, merupakan kata kerja, bukan kata
benda, sebagai suatu proses demokrasi. Dalam hal ini demokrasi sebagai way of life dengan nuktah: kemajemukan, musyawarah, cara harus sesuai dengan tujuan, permufakatan yang jujur, pemenuhan kebutuhan ekonomi, kebebasan, dan perlunya pendidikan demokrasi (Taher, 1994; Tanja, 1991)

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari paparan di atas, yang bisa kita simpulkan adalah, pertama, bahwa berbeda dengan pemikiran politik Islam klasik dan pertengahan yang homogen dan realis dengan kekuasaan yang ada akibat realitas politiknya yang menghendaki hal itu, maka pemikiran politik Islam modern beragam dan mengalami perkembangan mengagumkan. Hal ini mungkin karena situasi dan kondisinya yang berbeda. Kedua, secara umum peta pemikiran
politik Islam modern dan kontemporer bisa kita bagi pada tiga kategori atau tipologi; yaitu tipologi tradisional organik, sekuler, dan moderat. Ketiganya memiliki konsepsi yang berbeda yang kesemunya merujuk pada teori atau praktek politik Islam Islam. Ketiga, tipologi pemikiran politik Islam yang moderat yang karena kematangannya tampaknya saat ini mendapat pendukung yang banyak.
B. Saran
Sebagai kader lepasan LK II ( Intermediet Training ) seharusnya mampu berpikir kritis mengenai persoalan persoalan yang ada. Selain itu lepasan LK II seharusnya memiliki intelektualitas yang lebih tinggi dari LK I. Mampu menganalisa dan membawakan materi serta berpikir dewasa. Untuk sekretariat cabang saya harapkan agar egonya dikurangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar