Kamis, 02 Juni 2011

Budaya Masyarakat Tana Toraja


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Tana Toraja sangat terkenal dengan adat istiadat yang masih sangat kental. Adat istiadat ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan orang Toraja pada jaman dulu yang disebut Aluk. Aluk merupakan kepercayaan sejenis animisme. Salah satu adat yang masih dipegang teguh adalah upacara pemakaman (maq tomate). Dalam ritual ini, biasanya pihak keluarga akan menyedikan beberapa sampai pulihan ekor kerbau yang akan dikorbankan dalam upacara ini. Kerbau ini biasanya dipotong kemudian dimasak untuk dimakan bersama dan sisanya dibagikan kepada kerabat yang datang untuk melayat.
Pada awal abad ke 20,  misi Zending dari Belanda datang ke Toraja untuk menyebarkan agama Kristen. Awalnya masyarakat Toraja yang menganut animisme sangat menentang misi ini, sampai pada akhirnya salah satu pemimpin misi yaitu Anton van de Loosdrecht dibunuh di Toraja. Namun sejak itu, agama Kristen menyebar dengan sangat pesat di Tana Toraja.  Sampai saat ini, lebih dari 95% masyakarat Toraja masih memegang teguh ajaran Kristen.
Saat ini sebagaian besar masyarakat Toraja hidup sebagai petani. Namun karena lahan pertanian sangat terbatas dan teknologi yang digunakan masih sederhana, maka hanya sebagian kecil waktu yang digunakan untuk bertani. Dan hasilnya pun sangat sedikit.  Namun tidak berarti bahwa masyarakat Toraja hidup dibawah garis kemiskinan.
Secara geografis, Tana Toraja merupakan daerah yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Sehingga akses dari suatu tempat ke tempat lain menjadi cukup sulit. Dan bahkan sampai saat ini
Kabupaten Tana Toraja beribukota Makale, terletak sekitar 329 km disebelah utara kota Makasar dengan batas-batas wilayah :
Sebelah Utara dengan Kabupaten Mamuju
Sebelah Timur dengan Kabupaten Luwu
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Enrekang
Sebelah Barat dengan Kabupaten Polmas
Orang Toraja adalah penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan yaitu wilayah dari kabupaten Tana Toraja dan Mamasa. Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan.
Tana toraja merupakan salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang memiliki adat istiadat,seni dan kebudayaan yang unik,mistis, dan indah. Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Dalam masyarakat toraja banyak terdapat budaya atau kebiasan-kebiasaan yang unuk seperti upacara kematian yang lebih mewah dibandingkan dengan upacara kematian. Selain itu juga terdapat objek wisata yang indah dan elegant seperti kuburan bayi yang terdapat dalam batang pohon,kuburan manusia yang terdapat dalam sebuah batu yang besar,pemandangan goa Londa dan masih banyak banyak lagi objek-objek wisata yang unik. Tana Toraja dikenal oleh dunia bukan saja karena kebudayaan-kebudayaannya yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni tetapi juga karena keaslian, keasrian dan keindahan alamnya yang selalu dapat memukau hati para wisatawan yang berkunjung
B.   Rumusan Masalah

1.    Bagaimana sejarah Tanah Toraja?
2.    Bagaimana bentuk budaya Tana Toraja?
3.    Bagaimana ritual budaya Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ serta Ma’ Badong?
4.    Apa hubungan antara Rambu Solo’ dengan tujuh unsure budaya?

C.   Tujuan Penulisan

1.    Menjelaskan sejarah Tana Toraja
2.    Mendeskripsikan budaya Tana Toraja
3.    Memaparkan budaya Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ serta Ma’ Badong
4.    Menghubungka budaya Rambu Solo’ dengan tujuh unsure budaya












BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sejarah Tana Toraja
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh47CPYooMhove8faEv-KwemJl1WJ_LFqRwPasfC0p1e-aFitZhB62z_YTHRigx55u-oNVUA-HYt6_UGBWusPjfySTVHla2XKqRKhkXhqlfBPLl4vFlHp2Vh56htQwQLZmnIbWDZWMJ4fk/s200/toraja.jpg
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Versi lain menyebutkan bahwa sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja.
Arti kata Toraja itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:
  1. A.Adriani mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja itu berasal suku bugis sidenreng
  2. Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis luwu ) karena tana toraja terletak di sebelah barat luwu
  3. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja Laki padada adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur) tetapi pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada bagian selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda didaerah tersebut maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi kebudayaan asli daereh ini pada tahu 1906.

Dalam sejarah Aluk dikatakan bahwa konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura.
Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah
timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu’, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.


Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.










B.BUDAYA MAYARAKAT TORAJA
            1. Rambu  Solo’ dan Rambu Tuka
Mayarakat Tana Toraja memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.
a.    Rambu Solo’
Tanah Toraja merupakan nama sebuah kabupaten yang ada di Makassar ( Sulawei Selatan ) ,yang memiliki keunikan tersendiri , suku toraja memiliki tata cara yang unik tentang pemakaman jenasah yang telah berlangsung secara turun temurun dan hingga kini masih di jaga dan di pertahankan. Rambu Solo merupakan nama dari upacara penguburan yang di lakukan oleh orang – orang toraja.
Upacara rambu solo’ dilakukan untuk memakamkan leluhur atau orang tua. Bila ada salah satu warga (orang tua atau leluhur ) yang meninggal orang-orang berbaris pergi kerumah orang tersebut mengikuti dibelakang mereka hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah dan tuan rumah pun menyambut dengan ramah dan diiringi oleh tari-tarian dan beraneka ragam santapan yang telah dipersiapkan diatas daun pisang
Namun dalam Pelaksanaannya upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
1. Dipasang Bongi : Upacara yang hanya dilaksanakan dalam satu malam
2. Dipatallung Bongi : Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan
3. Dipalimang Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
4. Dipapitung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam setiap harinya ada pemotongan hewan.

Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Orang Toraja yang meninggal tidak langsung di kuburkan kadang di simpan di rumah sampai 6 tahun karena menurut adat mereka orang yang sudah mati baru dapat di kuburkan setelah melalui proses upacara Rambu Solo ( upacara pemakaman ) yang memakan biaya tidak sedikit terkadang sampai ratusan juta rupiah .
Tana TorajaUpacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.

Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini.

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam
Tana Torajakeluarga itu).

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA1HvVmsruIzqZUYAwaNuJmh8zL-wuz7e_TYqq_DTicvEL-QEN_V1Lq2dKKgOn1zyR6Km2auTsDDgQKowDVFlx6T1E8fy7sPAtGgmamM5z2koOFTDa2u9YuAPvKZ2dePw3gqUPB2Juulyc/s320/toraja-5.jpgDalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo', adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
Secara ringkas ritual rambu solo’ dapat di lihat di bawah ini
  1. Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal.
  2. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
  3. 3. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir. (sebagai wujud sumbangsih dan bakti kepada masyarakat sekitar/solidaritas sosial).
  4. Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
  5. Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
  6. Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung) dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba. Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
  7. Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
  8. Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
  9. Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air.
10.  Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Pemakaman kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan ( Erong ), namun mereka juga mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu
Pada umunya tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah ( Pa’tane ). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka, adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, Dapat dijumpai puluhan Erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak disisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia
http://u.kaskus.us/21/myczvkoj.jpg


b. Rambu Tuka
Tarian Manganda' pada upacara Ma'Bua'Upacara ini yaitu acara untuk memasuki rumah adat yang baru atau Tongkonan yang selesai direnovasi dan waktunya sekali dalam 50 atau 60 tahun. Biasanya diiringi tarian Pa’Gellu dan seni musik Pa’pompang.Untuk upacara adat Rambu Tuka’ diikuti oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’.
2. Cerita Rakyat
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_qB2TJzjadq5mdG2M_NEw-9fJTbM9GBpyzUNsZZpRL46mLBi3YGuafnPEiCALO7CmbOdCoUIEQ2gw7ntkv_bIVAYQ5nIE6FKG06ymwPGat2eYm-Tju4DhjLoVKOWaaao-0sQoLC440Gw/s320/toraja1.jpg
Salah satu cerita rakyat masyarakat Tanah Toraja adalah cerita rakyat Toraja Datu’ Manili ( Landorundun). Menurut penuturan lisan orang Toraja khususnya bagi para bangsawan khususnya di Kecamatan Sa’dan Balusu’ dan Sesean bahwa Londorundun yang bergelar “Datu Manili”, adalah seorang putri yang cantik jelita yang memiliki rambut panjang dengan ukuran 17 depah 300 jengkal atau dalam Bahasa Toraja “Sang pitu da’panna, Talluratu’ Dangkananna”. Gadis jelita ini dipersunting oleh seorang raja dari Kabupaten Bone yang bernama “Datu Bendurana”.
Bukti sejarahnya adalah sebuah buku besar yang modelnya persis dengan sebuah kapal dikawal oleh dua batu kecil yang modelnya seperti perahu berada di Sungai Sa’dan di desa Malango’ (Rantepao) sebelah kanan jembatan Malango’ yang menurut cerita leluhur secara turun-temurun adalah kapal milik Datu Bendurana yang datang mencari dan menyelidiki Datu Manili (Londorundun). Mereka dipertemukan dalam jodoh dan oleh sebab itu orang Bone tidak boleh berselisih dengan orang Toraja, karena mereka mempunyai “Basse” atau “Perjanjian”. Salah satu saudara kandung Londorundun adalah “Puang Bualolo” kawin ke wilayah Sa’dan, dan menjadi leluhur pemilik Museum Londorundun yang terletak di Desa Tallunglipu, kompleks Bolu-Rantepao.
3.Tari-tarian Tana Toraja
a. Ma'badong
Ma’badong merupakan salah satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Ma'badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara berkelompok. Para penari (pa'badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam.

Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa'badong melantunkan syair (Kadong Badong) riwayat hidup, sejak lahir sampai wafat dari orang yang meninggal dunia. Tarian Ma'badong ini kadang menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.

http://u.kaskus.us/21/xvbjpzoq.jpg
1.Pengertian Badong
Badong adalah sebuah tarian dan nyanyian kedukaan berisi syair dukacita yang diadakan di upacara (pesta) kematian di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Badong dilakukan secara berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara membentuk lingkaran besar dan bergerak.
Ma’ berarti ‘melakukan’ dan pa’ berarti pelaku, sehingga ma’badong berarti melakukan tarian dan nyanyian badong, dan pa’badong berarti penari badong.
2.Deskripsi Badong
Badong dilakukan di setiap upacara kematian di Tana Toraja, dan dilakukan di tanah lapang atau pelataran yang cukup luas, yaitu di tengah-tengah lantang (rumah adat yang hanya dibuat untuk sekali pakai pada saat acara pesta kematian.
Pa’badong memakai baju seragam, biasanya hitam-hitam dan memakai sarung hitam atau memakai pakaian adat toraja. Jumlah penari dapat mencapai puluhan hingga ratusan orang, sehingga pria memakai seragam yang berbeda dengan para penari wanita. Terkadang para pria dan wanita juga mengenakan pakaian adat Toraja. Tetapi, karena badong juga terbuka untuk orang yang ingin ikut menari, jadi tamu upacara kematian yang ingin ikut ma’badong diperbolehkan berpakaian bebas.
Pada saat ma’badong, semua anggota tubuh pada pa’badong juga bergerak, seperti menggerakkan kepala ke depan dan ke belakang, bahu maju-mundur dan ke kiri-ke kanan, kedua lengan diayunkan serentak ke depan dan belakang, tangan saling bergandengan lalu hanya dengan jari kelingking, kaki disepakkan ke depan dan belakang secara bergantian.
Lingkaran besar yang diciptakan pada saat ma’badong dalam beberapa saat dipersempit dengan cara para pa’badong maju, lalu mundur kembali dan pemperluas lingkaran dan saling berputar dan berganti posisi, tetapi tidak bertukar pa’badong lain yang di sisi kanan atau kirinya.
Suara yang mengiringi tarian badong adalah nyanyian para pa’badong, tanpa iringan suara musik. Nyanyian yang dinyanyikan adalah lagu dalam bahasa Toraja, yang berupa syair (Kadong Badong) cerita riwayat hidup dan perjalanan kehidupan orang yang meninggal dunia, mulai dari lahir hingga meninggal. Selain syair tentang riwayat hidup, badong pada saat upacara kematian juga berisi doa, agar arwah orang yang meninggal bisa diterima di alam baka.
Pada umumnya, ma’badong berlangsung selama tiga hari tiga malam, karena pada umumya upacara kematian di Toraja berlangsung selama itu, tetapi tidak dilakukan sepanjang hari. Pada upacara kematian yang berlangsung selama lima hari dan tujuh hari, ma’badong dilangsungkan dengan waktu yang berbeda pula, sesuai dengan keinginan pa’badong dan persetujuan keluarga.
Pelaksaan upacara kematian di Tana Toraja hanya dilakukan oleh keturunan raja dan bangsawan, serta keluarga dengan status sosial yang tinggi, yaitu mereka yang memiliki banyak harta kekayaan. Hal inilah yang menyebabkan badong hanya dilakukan oleh golongan masyarakat yang kaya, walaupun dalam kenyataannya mereka sebagai penyelenggara, penari badong sendiri adalah keluarga dan masyarakat umum yang dengan sukarela ingin mendoakan orang yang meninggal pada saat itu.
Penari badong biasanya adalah masyarakat asli Tana Toraja yang sudah lama bermukim di Toraja dan sudah mengenal kuat kebudayaan Tana Toraja, hingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam menyanyikan syair ini. Selain itu, karena upacara kematian masih sering diadakan, masyarakat Tana Toraja tidak canggung dan dapat ma’badong dengan baik dan lancar.
Selain ma’badong, biasanya di upacara kematian Tana Toraja juga ada tari ma’gellu (tarian tradisional Tana Toraja), pengenalan keluarga yang berduka cita, pengenalan kerbau bonga (belang) dan kerbau biasa yang disembelih, mapasilaga tedong (beradu kerbau, yang nantinya akan disembelih sebagai pengantar arwah orang yang meninggal menuju surga), pengarakan peti menuju tempat yang disediakan, penaburan uang logam untuk diperebutkan oleh tamu upacara, dan pembakaran kerbau dan babi sembelihan yang nantinya akan dibagi kepada keluarga, tamu, dan masyarakat umum, dan ritual-ritual lainnya.
3.Tata Cara Pelaksanaan Badong
Sebelum upacara diadakan, yaitu pada saat persiapan upacara, para anggota keluarga yang berduka cita memilih siapa saja yang akan menjadi pa’badong untuk upacara kematian, yaitu keluarga, sanak saudara, rekan, tetangga, dan orang lain.
Hingga pada saat upacara kematian berlangsung, orang-orang yang telah ditentukan sebelumnya menuju tempat yang telah ditentukan, pada saat yang sudah ditentukan pula.
Para pa’badong berdiri dan saling menunggu teman yang lain berada di posisi masing-masing, lalu pemimpin badong (pemberi aba-aba yang dipilih dari pa’badong-pa’badong) memberikan aba-aba untuk memulai tarian mereka.
Pada awal ma’badong, para pa’badong menyanyikan empat badong secara berturut-turut sesuai dengan fungsinya, yaitu badong nasihat, badong ratapan, badong berarak, dan badong selamat (berkat). Setelah itu, dilanjutkan oleh para pa’badong yang sudah menyiapkan doa dan nyanyian riwayat hidup yang sudah dipersiapkan. Jika tiba waktu yang telah ditentukan, namun syair badong, doa, dan nyanyian riwayat hidup belum selesai, para pa’badong akan berhenti secara bersamaan dan mereka kembali ke lantang (rumah papan dan kayu yang digunakan hanya untuk upacara) untuk beristirahat, hingga pada waktu yang mereka rencanakan bersama, mereka akan ma’badong lagi.
Cara ini berlangsung hingga tarian dan nyanyian pa’badong selesai dan upacara kematian juga selesai.
4.Formula Badong
Banyak hal yang telah menjadi keharusan sebagai tata baku dalam upacara badong. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Untuk membentuk lingkaran sebagai nyanyian doa, penari badong paling sedikit harus berjumlah lima orang.
Syair lagu badong adalah syair yang sudah terstruktur sesuai dengan keempat fungsi ditambahkan dengan riwayat hidup orang yang meninggal dunia.
Badong dilaksanakan di upacara pemakaman di lapangan terbuka yang dikelilingi lantang (rumah adat).
Badong dilaksanakan oleh pria dan wanita dewasa.
Badong hanya dilakukan di upacara kematian dan bersifat sakral, bukan untuk permainan sehingga tidak akan dilakukan di upacara yang lain.
Rangkaian gerakan badong berupa gerakan kepala, pundak, tangan, dan kaki, serta perputarannya tidak mengalami perubahan dan variasi, tetapi berupa tata cara yang masih sama dengan yang diwariskan turun-temurun.
5.Fungsi Badong
Fungsi Badong adalah dibagi dalam empat bagian, yaitu badong pa’ pakilala (badong nasihat), badong umbating (badong ratapan), badong ma’ palao (badong berarak), dan badong pasakke (badong selamat atau berkat).
1. Badong Pa’pakilala
E..! Umbamira sangtondokta ?
To mai sangbanuanta ?
Sangti’ doan tarampakta ?
Ke de’ ko anta umbanting !
Rapana ta’ rio-rio,
Tatannun rosso maa.
Tang marandenkoka iko ?
Tae’ko dallo riomu ?
Lako te datu masallo’ ?
Ambe’ perangikan mati’,
Ambe’ tanding talingakan,
Angki lolloan batingki.
Ke umpokadaki’ bating,
Untannun mario-rio ;
Da’ tabarrugai bating,
Da’ talalan peninggoi.
Umbating tengki’ siada’,
Rintin sipakilalaki’ ;
Tae’ki’ lindona senga’,
Rampo ma’kekeran bassi.
Da’ anta lambi bating ru’seng,’
Tu rintin pa’ealian ;
Anta masakke mairi’,
Madariding sola nasang.
2. Badong umbating
Tonna masaki ulunna,
Tiku ramman beluakna ;
Nenne’ samandu-mandunna,
Kerangan umbongi-bongi.
Samari tampak sarrona,
Te upu’ pekaindo’na ;
Ka’tu angin dipudukna,
Ronta’ tondon to batanga.
Sokan sokannamo ia,
Te dao nene’ mendeatanta ;
Sola to dolo kapuanganta,
Unnamboran tinaranna.
Namboran salarika,
Nasio’ tang tongan dika ;
Dengka tau tang nabasa,
Tang nalulun baratai ?
La ditulakraka langi’,
La dimnangairika ? ;
Sokan2 ia Nene’,
Tang ma’ga’ta’ to dolota.
Ke napapatui lenki’,
Ke nasanda simisa’ki’ ;
Sanda’2 dilempangan,
Pangkun dipentilendungan.
Tallang turanannaki’ Puang,
Awo’ bela’-belaranna ;
Aur tebas-tebasannya ;
Ke disaile sulei,
La dibandika menasan.
Inde dao to tungara,
Rintin to mennulu sau’ ;
Umpolo bintanna Sali,
Sirundu’ karasan tanga.
Malemi situru’ gaun,
Sikaloli’ rambu ruaja ;
Naempa-empa salebu’,
Sau’ tondok Pong Lalondong.
Unnola tossoan Adang,
Panta’daran Tau bunga’ ;
Dadi deatami lolo’,
Kombongmi to palullungan.
La umbengki’ tua’ sanda,
Paraja sanda’ mairi’ ;
Anta masakke mairi’,
Madarinding sola nasang.
3.Badong ma’palao
Tiromi tu tau tongan,
Tu to natampa puangna ;
Tae’ sanglindo susinna,
Sanginto’ rupa-rupanna.
Pada ditampa bintun tasak ;
Pada dikombang bunga’ lalan ;
Sumbang bulan naesungi,
Kurapak allo natadongkonni.
Mallulun padang naola,
Umpamampu’ padang2 ;
Buda kinallo lalanna,
Dikki’ barra’ karunna.
Malemi naturu’ gaun
Naempa-empa salebu’ ;
Sau’ tondok Pong Lalondong.
Ilo’ bambana makkun.
La sangtondok to dolona,
Sangisungan to menggaraganna ;
Ia nasang mintu’ tau,
Mairi’ sangtolinoan.
4.    Badong passakke
Sampa’ batingkira tondo,
Pango’tonan marioki ;
Napokinallo ilalan,
Sau’ rumombena langi’.
Sau’ tondok Pong Lalondong,
Ilo’ tondok to Mario ;
Ganna’ sampin pebalunna,
Sukku’ todeng tunuanna.
Nariamo tangkean suru’,
Nasaladan kada rapa’ ;
Anta masakke mairi’,
Madarinding sola nasang.
5.Badong nasihat
Hai..! Di manakah orang sekampung kita ?
Yaitu tetangga kita ?
Rumpun keluarga kita ?
Ayo! Berdirilah lalu kita menuangkan kesedihan kita
Saya terdiam dengan sangat sedih
Mari kita menguraikan kesedihan hati.
Tidakkah engaku berduka ?
Tidakkah kesedihan di hatimu?
Kepada raja yang budiman ini ?
Bapa dengarkanlah kami.
Ya bapa miringkanlah telinga.
supaya kami bisa menyampaikan syair kesedihan kami
Kalau kita hendak mengatakan kesedihan,
janganlah kita perolokkan kesedihan,
jangan kita buat seperti permainan.
Kalau kita bersedih saling memperingati :
Kita bukanlah orang lain,
Tiba untuk memakan besi (berduka)
Jangan kita sebut bersedih itu salah,
Mengungkapkan ragam pertentangan
Supaya kita selamat sekalian
Bersentosa semuany
a.
6. Badong ratapan
Pada waktu kepalanya sakit,
Semua rambutnya merasakannya ;
Makin keras sekerasnya,
Bertambah dari malam ke malam.
Hanya sedih keluh penghabisannya,
Sehabis ratapan memanggil ibunya ;
Putuslah angin pada mulutnya (artinya mati);
Habislah jiwa pada badannya (artinya mati)
Sayang sioh sayang dia,
Yang di atas nenek leluhur kita ;
Bersama pertuanan kita,
Mengamburkan sumpitannya.
Dihamburkan salakah,
Diukur tidakkah benar;
Adakah orang yang yang tak dikena,
Yang tidak disapu ratakan ?
Akan ditantangkah langit ke atas,
Akan ditaruhkan kayu pilar?
Sayang sioh sayang ia Nenek,
Leluhur kita tidak adil.
Kalau ditunjukkan kepada kita,
Kalau dikenakan pada kita masing-masing;
Tak akan dapat dielakkan,
Tak dapat dilindungi.
Seakan kita ini pohon bambu tebangan Tuhan,
Kalau kita menoloh kembali,
Kita tidak akan membawa penyesalan.
Ini di atas orang melentang,
Yang berbaring arah ke selatan ;
Melintasi ikatan papan lantai,
Mengikuti balak tengah rumah.
Sudah pergi bersama dengan embun,
Bersama dengan asap bara api ;
Diikut-ikuti oleh awan,
Ke selatan negeri tuhannya jiwa di negeri jiwa
Mengikuti jejak Adam,
Mengikuti manusia pertama ;
Sudah menjadi berhala di sana,
Sudah menjadi pelindung.
Akan memberikan kita berkat yang cukup.
Keselamatan masing2 sekalian ;
Supaya kita selamat sekalian,
Semuanya bersentosa.
7. Badong berarak
Lihat orang yang sebenarnya,
Orang yang ditempa oleh ilahnya ;
Sepertinya tidak sebanding,
Yang setara dengan keadaannya.
Bersamaan ditempa dengan bintang gemerlap.
Bersamaan dibentuk dengan bunga’ lalan (nama bintang)
Bulan purnama yang didudukinya,
Sinar matahari yang ditempatinya.
Padang berlumpur dilewati olehnya,
Menganguskan rerumputan ;
Banyak perbekalan di jalannya,
Berasnya melimpah pada waktu sore.
Telah berangkat diikuti embun,
Diikuti awan-awan ;
Ke selatan negeri Pong Lalondong.
Di sana kotanya yang tetap.
Akan senegeri dengan nenek moyangnya,
Sekedudukan dengan yang menenpanya ;
Semua yang berwujud manusia,
Dengan manusia di bumi.
8.Badong selamat (berkat)
Begitulah uraian kesedihan kamu,
Penjelasan kesedihan kami,
Menjadi bekal perjalannya,
Keselatan ujung2nya langit.
Ke selatan negeri tuhannya jiwa.
Di sana negeri orang yang bersedih ;
Cukup dengan kain pembungkusnya,
Genap kerbau bantaiannya.
Sudahlah ditatang dengan tangkean suru,
Telah dipelihara dengan kata sepakat.
Supaya kita semua selamat,
Kita sekalian bersentosa

http://u.kaskus.us/21/xvbjpzoq.jpgFoto ma’badong

Ma'badong para pria dewasa ma’badong dengan seragam baju putih dan sarung hitam, sedangkan di samping mereka ada barisan keluarga dan tamu duka melewati lantang (rumah adat untuk upacara).


Tarian_Mabadong
Pa’badong sedang melakukan upacara ma’badong, dan ada seorang pemimpin yang mengenakan pakaian berbeda.
Ma'gellu'm Panga'la'
Penari dan pemusik ba’gellu mengiringi upacara-upacara adat di Tana Toraja, salah satunya di upacara kematian.
Ma' pa silaga tedong
Setiap upacara kematian, ma’silaga tedong juga dilakukan sebelum atau sesudah ma’badong
4.Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra. Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu. Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut: Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah. Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus berselubung kain.
Dilarang berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat, dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende (tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang berada diatas tangga sudah boleh turun.
C. Tujuh Unsur Budaya Masyarakat Tana Toraja
1. Sistem Religi Atau Kepercayaan
Suku Toraja ada yang menganut agama Islam, Kristen dan sebagian lagi masih menganut kepercayaan animisme yang disebut “aluk Todolo” yang artinya suatu kepercayaan / agama leluhur. Aluk Todolo dalam ajarannya mengatakan bahwa agama ini diturunkan oleh “Puang matua” (Sang Pencipta) kepada yang pertama yang dinamakan “Sukaran Aluk” jadi sukaran aluk artinya aturan dan susunan agama atau keyakinan yang didalamnya harus menyembah, memuja dan memuliakan Puang Matua yang dilakukan dalam bentuk sajian persembahan.
2. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Toraja mempunyai sistem pengetahuan waktu yang berhubungan dengan hari yang baik atau bulan yang baik. Dalam kehidupan masyarakat Toraja dikenal 3 waktu :
  1. Pertanam ( Setahun Padi )
  2. Sang Bulan ( 30 hari )
  3. Sang Pasa ( Sepekan )
3. Sistem Kekerabatan
Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan Bilateral
4. Sistem Ekonomi / Mata Pencaharian
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang suku toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.

5. Bahasa
Masyarakat Toraja banyak yang menggunakan bahasa Sa’dan yaitu bahasa asli orang Toraja, seperti orang Jawa mempunyai bahasa daerah yaitu bahasa jawa.
6. Peralatan Hidup / Teknologi
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti :
Alat Dapur
·          La’ka sebagai alat belanga
·         Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
·          Karakayu yaitu alat pembagi nasi
·          Dulang yaitu cangkir dari tempurung
·          Sona yaitu piring anyaman
Alat Perang / Senjata Kuno
·         Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
·         Penai yaitu parang
·          Bolulong yaitu perisai
·          Sumpi atau sumpit
Alat Perhiasan
·         Beke – ikat kepala
·          Manikkota – kalung
·          Komba – gelang tangan
·          Sissin Lebu – cincin besar
Alat Upacara Keagamaan
·          Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
·          Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
·          Pokti – tempat sesajen
·          Sepui – tempat sirih


Alat Musik Tradisional
·          Geso – biola
·          Tomoron – terompet
·          Suling Toraja
7. Kesenian
Tana Toraja memiliki kesenian yang telah mendarah daging turun temurun pada masyarakatnya. Berbagai macam obyek yang menarik baik secara langsung diciptakan-Nya maupun secara sengaja dibuat oleh orang-orang yang memilki cita rasa dibidang seni yang tinggi tentang budayanya sendiri
Tana Toraja mempunyai tari-tarian yang disesuaikan dengan upacara-upacara. Tarian yang diperlihatkan pada upacara kematian tentu berbeda pada upacara syukur atau gembira. Maksud tarian ini dihubungkan dengan (Dewatanya) yang berarti berdoa. Selama menari orang biasanya menyanyi. Maksud nyanyian tersebut ialah mengatakan pesta apa yang diadakan, lagunya hampir sama saja dan memberi pengertian pesta yang dibuat. Tari-tarian dan seni musik yang ada di Toraja yaitu :
  • Tari Pa’gellu
Merupakan salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang dipentaskan pada acara pesta “Rambu Tuka”. Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk menyambut patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kegembiraan.
  • Tarian Ma’badong
Tari ini hanya diadakan pada upacara kematian ini bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti sambil melantunkan lagu ( Kadong Badong ) yang syairnya berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati, agar arwah yang telah meninggal dapat diterima di negeri arwah ( Puya ) atau alam dialam baka.

  • Musik Passuling
Passuling diperagakan dengan menggunakan suling lembang yaitu suling tradisional Toraja dan dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi lantunan lagu duka dalam menyambut keluarga atau kerabat yang menyatakan duka citanya.
  • Musik Pa’pompang
Musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi orkestra, dimainkan oleh banyak orang. Musik bambu ini biasanya dimainkan pada perayaan bersejarah.
  • Musik Pa’karobi
Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang atau bibir disentak-sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.
  • Musik Pa’geso-geso
Sejenis alat musik gesek yang terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan tali akan menimbulkan suara yang khas.
Diwilayah Toraja terdapat upacara adat yang terkenal dan tidak ada duanya didunia, yakni upacara Rambu Solo dan Rambu Tuka, upacara-upacara adat tersebutlah yang diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

D.   Hubungan antara Rambu Solo’ dengan Tujuh Unsur Budaya
Dalam pembahasan ini saya hanya menghubungkan 4 unsur budaya yang berkaitan dengan uppacara Rambu Solo’
1.    Sistem Religi
Dalam pandangan ajaran agama khususnya agama islam upacara Rambu Solo’ merupakan upacara yang berlaku boros. Karena pada pelaksanaan upacara ini banyak memakan biaya dan waktu. Islam tidak mengajarkan tentang perbuatan boros bahkan islam mengumpamakan orang yang berlaku boros itu seperti teman syetan. Di bawah ini terdapat beberapa ayat mengenai perbuatan boros,
Q.S. Al A’Raf : 31
“…..makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Q.S. Al Isra’ : 27
“ sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudra-saudara syetan dansyetan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Bagaimana Gereja Toraja memberikan respons terhadap pandangan dan ritus-ritus kematian yang dihayati oleh orang Toraja? Dalam Pengakuan Gereja Toraja di bagian penebusan, pada poin 7 disebutkan:
“Keselamatan dan kesejahteraan kita kini dan nanti tidak tergantung pada persembahan-persembahan, seperti: korban binatang, amal, kebajikan serta kesalehan kita. Orang berdosa dibenarkan di hadapan Allah hanya oleh korban Yesus Kristus.” Dari pengakuan iman ini tampak upaya gereja untuk menegaskan ajaran Alkitab di tengah-tengah keyakinan tradisional yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan orang Toraja.
Menyikapi ritus-ritus sebagai bagian dari adat istiadat, Pengakuan Gereja Toraja menyatakan: ”… adat tidak dapat dipisahkan dari keyakinan dan agama, sehingga kita wajib menguji setiap adat apakah ia sesuai dengan kehendak Allah atau tidak.
2.    Sistem Pengetahuan
Upacara Rambu Solo’ memberikan suatu nilai sejarah yang unik dan elegant yang tidak ada tandingannya. Dalam pengetahuan upacara Rambu Solo’ merupakan salah satu sumber sejarah yang harus tetap dijaga dan merupakan upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan begitu mayarakat akan mengetahui bagaimana adat-istiadat masyarakat Tana Toraja.
3.    Sistem Kemasyrakatan
Upacara Rambu Solo’ memiliki nilai gotong royong yang tinggi. Dalam pelaksanaan upacara masyarakat saling bekerjasama dalam melakukan berbagai ritual seperti dalam penyembelihan kerbau dan pada saat pengusungan jenazah.
4.    Seni
Upacara Rambu Solo’ selain memiliki nilai sejarah juga memiliki nilai budaya atau seni yang tinggi dan unik.


BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat Tana Toraja memiliki budaya yang unik dank has di antaranya Rambu Solo’, Rambu Tuka, Ma’Badong , kuburan bayi dan masih banyak lagi. Rambu Solo’ merupakan upacara pemakaman leluhur atau orang tua. Upacara ini merupakan upacara paling meriah dan paling mewah dalam masyarakat Tana Toraja. Rambu Tuka merupakan upacara yang dilakukan sebagai bentuk syukuran. Upacara adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Badong adalah warisan kebudayaan yang telah diwariskan turun-temurun oleh penduduk asli dan keturunan suku Toraja sejak berabad-abad yang lalu. Karena kekhasan, fungsi dan peranan, serta nilai kebudayaan untuk bersama-sama mendoakan orang yang telah meninggal membuat ma’badong masih bertahan hingga sekarang, bahkan sering dilaksanakan.

Pelaksanaan upacara yang sakral ini tidak dinilai dengan penilaian ekonomis atau menjadi materi kekayaan, tetapi upacara yang mengandung kekayaan yang tidak ternilai harganya, sehingga harus tetap dilaksanakan dan dipedulikan oleh seluruh bangsa Indonesia, khususnya masyarakat asli Tana Toraj
a.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun.2007. Sejarah untuk SMA X. Jakarta : Cempaka Putih
Thoifuri & Suci Rahayu.2007. Pendidikan Agama Islam SMA XII. Jakarta : Ganeca
Palopo Pos 2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar